Memo Kebijakan: Efektivitas Dana Otonomi Khusus di Papua dan Papua Barat

Efektivitas Dana Otonomi Khusus di Papua dan Papua Barat

oleh: Didik Purwandanu, Senior Program Manajer PATTIRO bidang Akuntabilitas Sosial

“..Tetapi PEPERA bukan achir tudjuan kita. Masalah jang paling penting adalah Pembangunan Daerah Irian Barat setjara serentak dan dalam  rangka pelaksanaan REPELITA… Seperti halnja dengan Daerah-daerah lainnja, Irian Baratpun segera akan menerima kedudukannja sebagai Daerah tingkat I dengan otonomi jang riil dan luas..”
(sebagian Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia Jenderal Soehartodi depan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong pada 16 Agustus 1969).

Video Cuplikan Latar Belakang dan Pendapat Tentang Memo Kebijakan ini.

Latar Belakang

Setelah 43 tahun Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), Otonomi yang dijanjikan Pemerintah Republik Indonesia, secara resmi akhirnya baru dimulai sejak disahkannya Undang Undang No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua. Pada regulasi ini, Otsus didefinisikan sebagai kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.

Sesuai regulasi ini, Otsus mencakup sejumlah hal terutama: pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan; kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan ketiga, mewujudkan pemerintahan yang baik berciri: (a) partisipasi sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan; (b) pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan, dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; kemudian (c) penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Keempat, pembagian  wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.

Sumber dana desentralisasi Provinsi Papua dan Papua Barat diatur di dalam UU No. 21 Tahun 2001. Pertama, dalam hal dana perimbangan, sesuai mandat UU Otsus, Provinsi Papua dan Papua Barat mendapat perlakuan istimewa dalam hal bagi hasil sumber daya alam minyak dan gas,yaitu 70%. Sementara untuk sumber daya alam lain, keduanya menerima persentase sama seperti provinsi lain. Untuk Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), keduanya menerima 90%, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80%, dan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi sebesar 20%.
Kedua, ada penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otsus yang besarnya dinilai 2% dari Dana Alokasi Umum Nasional, inilah yang disebut sebagai dana Otsus. Ketiga, ada dana tambahan pembangunan infrastruktur. Penerimaan kedua dan ketiga ini berlaku selama 20 tahun, dan setelahnya nihil. Khusus untuk ketentuan istimewa bagi hasil minyak dan gas akan berubah menjadi 50% setelah 25 tahun.

Sepanjang 2002 sampai 2012, Provinsi Papua menerima Rp 28,445 triliun dana Otsus dan Rp 5,271 triliun dana infrastruktur. Adapun Provinsi Papua Barat yang terbentuk sejak 2008, sudah menerima Rp 5,409 triliun dana Otsus dan Rp 2,962 triliun dana infrastruktur.

Keempat, Dana Alokasi Umum sebagai block grant dari pemerintah pusat untuk menutup celah kemampuan fiskal antar wilayah. Hasil analisis yang dilakukan World Bank menunjukkan, selain keiistimewaan dengan adanya dana Otsus, dana khusus infrastruktur, dan dana perimbangan, DAU Papua sendiri sudah sangat besar. Pada tahun 2005 misalnya, nilainya mencapai 25,5% dari pendapatan nasional, atau sekitar Rp 88,8 triliun. Maka tidak usah heran jika dibandingkan dengan kawasan lain, Papua saat itu menerima 5 kali yang diterima Jawa Timur dan 4 kali yang diterima Nusa Tenggara Barat.

Efektivitas Dana Otsus

Bagaimana dampak dana Otsus terhadap kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat? Dari sisi implementasi, ada peningkatan pada angka partisipasi sekolah, angka melek huruf, dan rata-rata lama sekolah, penambahan infrastruktur kesehatan dan tenaga medis, serta penurunan persentase penduduk miskin. Pada 2011, persentase penduduk miskin di Papua 31,98 persen, sedangkan di Papua Barat 28,2 persen. Namun, menurut Gubernur Papua Barat Abraham Atururi, meski ada penurunan persentase penduduk miskin, Papua Barat masih menempati urutan kedua provinsi termiskin. Jumlah pengangguran terbuka juga masih berkisar 5,5 persen, kendati sudah menurun ketimbang tahun 2009 sebesar 7,73 persen. Jika melihat tren persentase penduduk miskin pada gambar 2, maka terlihat sebetulnya dana Otsus tidak berdampak signifikan.

Gambar 2 Persentase Kemiskinan di Papua dan Papua Barat

Senada dengan penjelasan grafik tersebut, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan mengatakan bahwa hasil evaluasi hasil penelitian Kemendagri, LAN dan Partnership menunjukan bahwa sedikitnya terdapat dua level kelemahan implementasi Otsus yang perlu segera dibenahi, pertama pada level kebijakan yang terlihat dari belum adanya petunjuk teknis sebagai penjabaran dari UU Otsus, belum ditetapkannya Perdasus tentang pembagian, pengelolaan serta penerimaan keuangan sebagai bagian dari implementasi otsus, dan pola hubungan kerja yang belum terbangun secara sinergis antara eksekutif, legislatif dan Majelis Rakyat Papua (MRP) di daerah.

Sedangkan yang kedua terletak pada level implementasi kebijakan. Menurut Djohermansyah,  hal ini terlihat pada kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pelaksanaan otsus, kuantitas dan kualitas pelaksana otsus yang masih terbatas, MRP yang masih multitafsir dan upaya yang dilakukan oleh Pemda dalam implementasi otsus belum maksimal. Untuk itu, ke depan Kemendagri melalui Dirjen Otda akan mengevaluasi implementasi otsus setiap tahun.
Pada awalnya, Otsus sangat didukung oleh pemangku kebijakan publik di Papua, sebagaimana tercermin dari pernyataan Gubernur Papua pada saat itu, JP Salossa. “Sekitar 75 persen warga Papua diperkirakan masih hidup di bawah garis kemiskinan akibat keterbatasan sarana dan prasarana transportasi laut, darat, dan udara di daerah itu. Sarana dan prasarana transportasi di Papua sangat berpengaruh terhadap kehidupan warga masyarakat Papua,” Gubernur merasa optimis dengan pemberlakuan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua dapat mengangkat ketertinggalan dan kemiskinan masyarakat di Tanah Papua.

Gambar 3 Alokasi Dana Otsus tahun 2002 – 2012. Data dikompilasi dari BPS dan Ditjen Keuangan Daerah Kemdagri

Sayangnya, sebagaimana terjelaskan pada gambar 3 yang membandingkan alokasi dana Otsus dengan penduduk miskin dan indeks pembangunan manusia, alokasi tersebut tidak mampu menjadi pengungkit signifikan. Alih-alih meningkatkan, terlihat jumlah penduduk miskin masih tinggi, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)  masih jauh di bawah rata-rata nasional, yaitu 72.

Mengapa terjadi inefektivitas?

Kami merangkum dari sejumlah hasil evaluasi dan penelitian, dan menyimpulkan tiga penyebab utama pengelolaan inefektivitas:
Ruang partisipasi masyarakat dalam pengawasan masih terbatas. Salah satu indikasinya ialah akses masyarakat sipil terhadap dokumen publik terkait perencanaan dan penganggaran di Papua dan Papua Barat. Di satu sisi memang Otsus memberi peluang bagi Majelis Rakyat Papua (MRP). Namun, lembaga ini harus lebih banyak diberi peran dalam memfasilitasi masyarakat sipil dalam mendapatkan hak atas informasi publik. Prinsip transparansi dalam tata pemerintahan yang baik sesungguhnya memberi kesempatan bagi masyarakat untuk dapat terlibat dalam memantau pelayanan publik agar lebih berkualitas. Partisipasi ini akan memungkinkan terjadinya verifikasi kualitas pelayanan publik, sekaligus meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan. Tidak tersedianya data yang dapat diakses oleh masyarakat sipil dan bahkan pemerintah pusat tentu semakin menimbulkan pertanyaan lanjutan bagaimana dana otsus dikelola oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat, apakah dapat akuntabel? Dengan indikasi penyelewengan dana Otsus sebesar Rp 4,12 triliun sebagaimana temuan BPK maka aspek transparansi ini patut menjadi prioritas untuk diselesaikan.

Mekanisme transfer bersifat tanpa syarat tertentu. Peraturan Menteri Keuangan mengenai besaran dana otsus Papua dan Papua Barat setiap tahun memang menyebutkan prioritas penggunaan untuk pendidikan dan kesehatan, namun tidak disertai prasyarat tertentu supaya pemerintah di kedua provinsi dan kabupaten / kota tidak mendapatkan transfer terlalu mudah. Secara jumlah juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pengalaman di banyak tempat dan berbagai negara berkembang dan negara maju menunjukkan transfer tanpa syarat cenderung menjadi disinsentif karena membuat pemerintah daerah lebih mengandalkan dana tersebut ketimbang penerimaan daerah. Dampak lanjutannya ialah kondisi ilusi fiskal, di mana dana transfer khusus ini tidak mampu meningkatkan perekonomian daerah, dan hingga masa tenggat 25 tahun (berarti tersisa 13 tahun lagi) berpotensi kedua provinsi tetap bergantung pada anggaran dari pusat.

Koordinasi lintas K/L dalam pengawasan perlu ditingkatkan. Salah satu indikasinya ialah masing-masing Kementerian / Lembaga melakukan monitoring dan evaluasi yang terpisah untuk kepentingan yang berbeda. Kementerian Dalam Negeri secara berkala melakukan evaluasi bertahap pelaksanaan otsus, bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah. Contoh lain, monitoring dan evaluasi Standar Pelayanan Minimum bidang Kesehatan, di mana jumlah Kabupaten di Papua dan Papua Barat yang menyampaikan laporan tak mencapai 15%, jauh di bawah provinsi lain yang sebagian besar sudah mencapai 100%. Data menunjukkan dari beberapa tahun sampai 2010 dan 2011 tidak ada perbaikan signifikan, itupun validitas data belum dapat dijamin. Secara kerangka logis, harapannya capaian di tingkat IPM tentu kemungkinan besar bakal tercapai jika capaian antara, yaitu target capaian SPM dapat diraih.

Rekomendasi
Pemerintah pusat dan daerah perlu memastikan ruang lebih terbuka bagi partisipasi masyarakat dalam perencanaan, penganggaran, dan pemantauan dana Otsus. Partisipasi ini paralel dengan upaya pemerintah pusat dalam menjamin keterbukaan informasi publik. Partisipasi masyarakat dilakukan untuk menilai 3 hal di masing-masing tahap pelaksanaan kegiatan, yaitu; (a) efektivitas, atau sejauh mana manfaat program dengan menggunakan dana Otsus dapat dirasakan masyarakat; (b) kepatuhan terhadap prosedur, atau apakah ada sanksi terhadap kecurangan dan penyelewengan; dan (c) akses, atau apakah masyarakat mudah mendapatkan informasi penting yang diperlukan. MRP perlu berperan lebih strategis dengan memfasilitasi masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan di setiap tahap program.

Perbaikan mekanisme transfer. Pemerintah pusat perlu merumuskan perbaikan mekanisme transfer dari tanpa syarat menjadi bersyarat. Prasyarat yang digunakan dibuat secara bertahap sesuai situasi di Papua dan Papua Barat yang memang memerlukan kebijakan afirmatif. Sebagai contoh, pada tahun pertama pemerintah pusat mengenakan persyaratan pelaporan monev SPM pendidikan dan kesehatan minimal 70%, kemudian tahun kedua target dinaikkan mencapai 100%, lalu tahun ketiga dan berikutnya dikaitkan dengan validitas data. Dapat juga ditambahkan pada 3 tahun terakhir masa otsus, syarat pencapaian SPM diberlakukan.

Koordinasi lintas K/L dalam melakukan monitoring dan evaluasi. Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Keuangan, Badan Pengawas Keuangan Pembangunan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Pemerintah pusat dapat membentuk tim lintas K/L dalam memantau dan mengevaluasi program dan penggunaan dana Otsus dan dikaitkan dengan syarat dalam perubahan mekanisme transfer. Setiap temuan bermasalah tentu harus diusut, supaya tidak ada istilah ungkapan ‘Dana Otsus tak perlu diusik karena sebagai sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka’.

Scroll to Top
Skip to content