Kasus tindak pidana suap dan pencucian uang yang dilakukan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar semakin mencengangkan publik. Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kamis (20/2), disebutkan dalam salah satu dakwaan tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), total pencucian uang yang dilakukan Akil Mochtar mencapai Rp 161,08 miliar. Uang yang coba disamarkan asal-usulnya oleh Akil Mochtar berasal dari imbalan pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) saat dia menjabat menjadi hakim MK dan Ketua MK. Sementara, wakil ketua KPK Zulkarnain menyatakan bahwa KPK akan terus mengusut sejumlah kepala daerah dan wakilnya yang diduga memberikan suap atau memberikan uang kepada Akil Mochtar ketika menjabat di MK.
Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) mendukung tindakan KPK untuk mengusut tuntas tindak pidana suap Akil Mochtar yang melibatkan sejumlah Kepala Daerah. PATTIRO juga meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sebagai atasan langsung dari Kepala Daerah agar mengambil tindakan tegas kepada para Kepala Daerah yang terlibat kasus suap tersebut. Mendagri seharusnya segera menonaktifkan para Kepala Daerah yang terbukti melakukan penyuapan kepada Akil Mochtar agar mereka dimenangkan kasusnya. Namun sayangnya, berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Mendagri baru bisa segera menonaktifkan para Kepala Daerah yang terbukti melakukan tindak pidana suap ketika mereka sudah berstatus terdakwa.
Untuk itu, PATTIRO menyarankan Mendagri agar segera menyusun dan menetapkan suatu mekanisme regulasi yang dapat langsung menonaktifkan Kepala Daerah yang terlibat kasus pidana suap dalam sengketa pilkada. Tindakan ini perlu dilakukan Mendagri, karena tindak pidana suap yang dilakukan para calon kepala daerah untuk menang dalam sengketa pilkada membuktikan bahwa mereka tidak memiliki integritas sebagai seorang pemimpin. Sudah terbukti, ketiadaan integritas bagi seorang pemimpin akan berakibat buruk dan hanya membawa kesengsaraan pada wilayah dan masyarakat yang dipimpinnya.
Uji Integritas
PATTIRO juga mendukung masuknya pasal uji integritas bagi calon kepala daerah ke dalam rancangan undang-undang pemilihan kepala daerah (RUU Pilkada) yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Saat ini, keberadaan pasal uji integritas dalam RUU Pilkada ditentang oleh sejumlah partai politik. Masing-masing partai politik menyatakan telah melakukan uji integritas sebelum mengusung figur yang akan bertarung di pilkada. Padahal, uji integritas yang paling baik bagi seorang calon kepala daerah adalah jika uji integritas tersebut dilakukan oleh tim panel yang terdiri dari para pakar, tokoh masyarakat, dan kalangan akademisi di daerah.
Selain itu, hasil dari uji integritas tersebut harus dituangkan ke dalam sebuah pakta integritas yang berkekuatan hukum yang ditandatangani oleh para calon kepala daerah yang lulus uji. Sehingga, ketika mereka melakukan pelanggaran pidana terkait pilkada, misalnya melakukan penyuapan, bisa langsung dinonaktifkan oleh Mendagri. (***)
Jakarta, 24 Februari 2014
Sad Dian Utomo | Direktur Eksekutif PATTIRO
saddian@pattiro.org | 0812 800 3045
Contact Person:
Iskandar Saharudin | Policy Reform Specialist
iskandar@pattiro.org | 0852 6045 0446