Potret Buram Pemerintah Daerah Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Mengabdi Pada Masyarakat

corruption illustration

PATTIRO : Pemerintah Harus Mengabdi Pada Masyarakat

Akhir tahun 2012, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebutkan ada 290 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terjerat kasus korupsi (hukum). Awal November 2013 jumlah tersebut bertambah menjadi 309 orang dan hingga Januari 2014, Kemendagri mencatat 318 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut dengan kasus korupsi (hukum). Banyaknya kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi seolah menjadi potret buram pemerintahan daerah di Indonesia.

Potret buram ini akan semakin suram jika kita melihat penyelenggaraan pelayanan publik dan proses perencanaan dan penganggaran di daerah yang masih belum berpihak kepada masyarakat. Demikian pula halnya dengan keterbukaan informasi, meski informasi sudah menjadi hak masyarakat yang dilindungi oleh undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), namun masih banyak pemerintah daerah yang belum terbuka dan mau menyediakan informasi yang seharusnya menjadi hak masyarakat.

Potret buram ini seolah menggambarkan kegagalan pemerintah daerah mewujudkan tata kelola pemerintahan yang mengabdi pada masyarakat. Namun apakah kegagalan ini seratus persen menjadi tanggung jawab pemerintah? Kemudian kemana peran masyarakat? Padahal kondisi ideal hubungan antara pemerintah dan masyarakat adalah masyarakat yang aktif dan pemerintah yang responsif. Kondisi ideal ini akan mendorong terjadinya “akuntabilitas sosial” dari pemerintahan.

Namun mewujudkan masyarakat yang aktif bukan sesuatu yang mudah. Dibutuhkan penguatan kapasitas masyarakat yang berkesinambungan. Disinilah peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti PATTIRO dibutuhkan untuk memberikan penguatan kepada masyarakat agar menjadi kekuatan civil society yang aktif mengimbangi pemerintah sehingga menjadi responsif.

Pusat Telaah Informasi dan Regional (PATTIRO) telah bekerja untuk menjadikan masyarakat menjadi aktif menuntut haknya, misalnya memfasilitasi permintaan informasi atau menuntut pelayanan publik yang lebih baik. Yang paling kongkret adalah memfasilitasi Jaringan Ormas Peduli Pelayanan Publik (Jormas PPP) mengadvokasi Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merealokasi anggaran, dari anggaran perjalanan dinas menjadi biaya pendidikan pada 2003 lalu. Namun apa yang sudah dilakukan masyarakat sifatnya masih parsial dan insidental, belum menjadi suatu kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Sementara di sisi pemerintahan, banyak model kebijakan yang diputuskan syarat dengan nuansa politis sehingga tidak berbasis pada data yang jelas, sebagaimana program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan program beras murah untuk rakyat miskin (Raskin). Pelaksanaan program yang tidak  berbasis pada data yang jelas cenderung akan mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), wajar jika sekarang banyak kepala daerah yang tersangkut kasus hukum.

Selain itu, beberapa produk regulasi yang ada juga cenderung menciptakan maladministrasi. Sebagai contoh, undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme mewajibkan setiap penyelenggara negara melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat (pasal 5 ayat 3). Namun jika laporan kekayaan tersebut tidak dilaporkan dan diumumkan, tidak ada sanksi tegas yang dikenakan. Pasal 20 ayat 1 UU 28 tahun 1999 hanya menyebutkan setiap penyelenggara negara yang melanggar pasal 5 ayat (3) hanya dikenakan sanksi administrasi  sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bahkan, produk regulasi yang tidak tepat bisa menjadi alat perlindungan terhadap kepala daerah yang melakukan perbuatan melawan hukum. Sebagai contoh, PATTIRO mengindikasikan tingginya tingkat kepala daerah yang terlibat masalah hukum diakibatkan keberadaan Pasal 36 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang cukup kuat membentengi keberadaan kepala daerah untuk meredam atau terhindar dari tindakan penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum.

Hal tersebut terlihat dari prosedur perijinan yang wajib ditempuh oleh penegak hukum yang sebenarnya menyulitkan Aparat Penegak Hukum. Setidaknya ada dua tahap yang harus dilalui penegak hukum dalam menangani perkara hukum yang melibatkan kepala daerah. Tahap pertama, aparat penegak hukum harus memperoleh persetujuan tertulis dari Presiden tatkala akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah (lihat Pasal 36 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004). Tahap kedua, aparat penegak hukum harus memperoleh persetujuan tertulis dari Presiden tatkala akan melakukan penahanan terhadap tersangka kepala daerah (lihat Pasal 36 ayat (3) UU No 32 Tahun 2004).

Rekomendasi

Sebagai upaya memperbaiki kondisi tersebut dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang mengabdi pada masyarakat, PATTIRO merekomendasikan hal-hal berikut :

  1. Pemerintah terus memprioritaskan upaya reformasi birokrasi yang sedang dilakukan untuk pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur penyelenggara pemerintahan.
  2. Mengevaluasi perencanaan anggaran yang selama ini lebih kental nuansa politisnya, daripada mengupayakan penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat. Perlu mempercepat implementasi UU pelayanan publik, terutama implementasi standar layanan dan mekanisme keluhan di unit layanan.
  3. Pemerintah bisa mereduksi maladmnistrasi yang terjadi dengan mereview kebijakan-kebijakan yang justru menjadi penghambat serta melindungi kepala daerah yang melakukan tindakan melawan hukum.
  4. Pemerintah agar melibatkan masyarakat agar berfungsi aktif sebagai penilai dan pemberi umpan balik (feedback) dalam mekanisme pelayanan publik dan proses perencaanan dan penganggaran publik.
  5. Pemerintah agar menciptakan mekanisme umpan balik yang melibatkan masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas yang nyata dari penyelenggaraan pemerintahan.
  6. Dewan perwakilan rakyat (DPR RI dan DPRD) sebagai representasi dari masyarakat juga harus berperan aktif memonitoring dan mengevaluasi jalannya pemerintahan.

Jakarta, 30 April 2014

Sad Dian Utomo | Direktur Eksekutif PATTIRO
saddian@pattiro.org  | 0812 800 3045

Contact Person:
Ahmad Rofik | SPM Transparency

rofik@pattiro.org | 081393153564

Scroll to Top
Skip to content