Memo Kebijakan #3 | Komentar Atas RUU Pemerintahan Daerah

Desentralisasi di Indonesia dimulai pada 7 Mei 1999. Desentralisasi yang dimaksud di sini adalah konsepsi dan praktek desentralisasi yang sesuai dengan Agenda Reformasi: menjalankan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Milestone desentralisasi ini ditandai oleh penerbitan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Sejak itu, UU Pemda tersebut telah direvisi dan dirubah beberapa kali. Pada momen kali ini, di akhir periode masa pemerintahan Presiden SBY, UU Pemda tersebut akan diubah kembali. Bahkan telah ditetapkan untuk dipecah menjadi tiga buah RUU. Ketiga RUU tersebut adalah RUU tentang Pemerintahan Daerah itu sendiri, RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah, dan terakhir RUU tentang Tata Pemerintahan Desa. RUU yang terakhir telah ditetapkan menjadi UU di awal 2014, dengan nama Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah (RUU Pemda) saat ini sedang dibahas oleh DPR bersama Pemerintah. RUU Pemda ini menentukan sistem otonomi daerah yang diterapkan. Apakah desentralisasi sepenuhnya, desentralisasi asimetris, desentralisasi dengan dekonsentrasi dominan.

Kepentingan masyarakat sipil terhadap RUU tersebut adalah memastikan fungsi dan kerangka kerja penyelenggaraan urusan pemerintahan ditingkat daerah berada dalam koridor keterbukaan, akuntabilitas, dan kolaborasi multi-stakeholder. Sekaligus juga memastikan RUU tersebut tidak memberikan ekses negatif terhadap demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Untuk memperoleh jaminan tersebut, maka masyarakat sipil wajib untuk aktif mengajukan pandangan-pandangannya dan mempengaruhi proses yang terjadi di gedung DPR.

Sebagai gambaran, struktur isi dari RUU Pemda versi Pansus ini terbagi atas 24 Bab, 180 Pasal, 43 bagian, dan 56 paragraf.

Scroll to Top
Skip to content