OGP Dan Peran Indonesia

Open Government Partnership

Oleh: Mickael Bobby Hoelman, Jakarta | Opini | Selasa, 20 Mei 2014

Open Government Partnership (OGP) Asia Pacific Regional Conference baru-baru ini digelar di Bali.

Ini adalah konferensi pertama di Asia Pasifik sejak inisiatif OGP diluncurkan pada tahun 2011, dan dimaksudkan sebagai platform kerja sama bagi negara-negara dan kelompok masyarakat sipil untuk saling bertukar pengalaman, pengetahuan dan manfaat serta peluang yang lebih besar untuk praktik pemerintahan yang lebih terbuka.

Konferensi dibuka oleh Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengelolaan Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, yang menekankan pentingnya Asia Pasifik untuk tata kelola global serta inisiatif OGP, yang dimulai hanya oleh delapan negara anggota sukarela dan sekarang terdiri dari 64 negara anggota.

Kawasan Asia-Pasifik telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dalam perekonomian global. Meski begitu, tantangan tetap ada, terutama seputar isu kemiskinan, meningkatnya ketimpangan, keresahan sosial dan banyak lainnya.

Asia Pasifik membutuhkan lebih banyak solusi untuk perkembangan demokrasi di India, ketegangan pemilu di Thailand, ancaman terhadap kebebasan pers di Kamboja dan Filipina dan masyarakat tertutup di Korea Utara dan sebagainya. Menurut Kuntoro, keterbukaan menjadi kata kunci untuk membantu mengatasi tantangan di kawasan ini. Keterbukaan telah menjadi “mata uang” saat ini.

Ini adalah salah satu dari empat bahan utama, bersama dengan akuntabilitas, partisipasi, dan teknologi informasi, yang memungkinkan inisiatif OGP untuk menempatkan tata kelola tidak lagi monolitik tetapi asimetris dan sangat kaya dengan inovasi, dari pemerintah lokal hingga multilateral, dari yayasan global hingga lokal dan organisasi akar rumput.

Rakesh Rajani, cochair masyarakat sipil OGP, menambahkan bahwa kualitas partisipasi, keterbukaan dan akuntabilitas dapat ditingkatkan dengan penerapan media sosial, seperti Twitter, Facebook dan banyak lagi. Bagi Rajani, pemerintahan yang terbuka seharusnya tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga mengedukasi semua pemangku kepentingan.

Pandangan di atas dianut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Yudhoyono, “keterbukaan dan akuntabilitas saja tidak cukup”. Keduanya harus disertai dengan partisipasi publik.

Oleh karena itu, pemerintah harus bekerja untuk menjangkau lebih banyak masyarakat dan terlibat dalam cara-cara yang lebih inovatif.

Presiden menambahkan bahwa kita membutuhkan budaya partisipasi dan keterlibatan. Di sinilah partisipasi dari negara-negara di Asia Pasifik sangat penting dalam hal menawarkan peluang dan peran yang mendukung sebagian besar dinamika global.

Secara khusus, peran Indonesia di kawasan tidak hanya melalui keketuaannya di OGP, tetapi juga di forum-forum strategis lainnya, seperti Bali Democracy Forum (BDF).

BDF adalah forum sukarela lain yang dipimpin oleh Indonesia di Asia yang berbagi praktik demokrasi di antara para anggotanya. Ini pertama kali diluncurkan pada tahun 2008 dan sekarang diikuti oleh 73 negara anggota.

Tahun lalu, Yudhoyono juga dipercaya oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon untuk menjadi cochair High Level Panel of Eminent Persons (HLP-EP) on the Post-2015 Development Agenda.

Peran strategis Indonesia juga ditunjukkan dalam keanggotaan ASEAN, G77, G20, dan forum internasional lainnya. Tak bisa dipungkiri, Yudhoyono telah mempertahankan warisan para pendahulunya untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain utama di Asia Pasifik.

Tak heran jika banyak yang mengatakan prestasi dan warisan Yudhoyono harus ditindaklanjuti oleh penggantinya. Warisan kepemimpinan Indonesia di OGP harus dijadikan contoh yang baik.

Dalam komunike bersama setelah konferensi, sekitar 183 kelompok masyarakat sipil di Asia Pasifik menekankan tiga rekomendasi untuk semua negara anggota OGP: memastikan dan menjamin ruang sipil, tata kelola dalam Agenda Pembangunan Pasca-2015 dan kepatuhan dari setiap negara anggota untuk memastikan kualitas partisipasi.

Semua calon presiden kini mewarisi kepemimpinan Indonesia dalam memajukan OGP. Warisan ini harus dilanjutkan dengan komitmen yang lebih kuat, misalnya melalui perluasan praktik pemerintahan terbuka di industri ekstraktif dengan membuka semua kontrak dan pajak.

Indonesia dan anggota OGP lainnya harus mendorong keterbukaan pemerintahan sebagai salah satu tujuan dalam Agenda Pembangunan Pasca-2015 mendatang.

Masyarakat Indonesia mengharapkan contoh kepemimpinan yang baik dalam pemerintahan terbuka seperti yang ditunjukkan oleh pemerintah pusat diikuti oleh pemerintah daerah di provinsi dan kabupaten dan kota.

Pelayanan publik tidak hanya dapat diakses dan dinikmati oleh semua orang, tetapi juga harus terbuka untuk dipantau dan bertanggung jawab langsung kepada warga, seperti yang telah dilakukan di Makassar, Sulawesi Selatan sejak empat tahun lalu melalui audit sosial.

Sumber:
https://www.thejakartapost.com/news/2014/05/20/the-ogp-and-role-indonesia.html

Scroll to Top
Skip to content