A. GAMBARAN Angka Kematian Ibu (AKI) / Angka Kematian Bayi (AKB) DI PROVINSI NTB
1. Tren Kematian Bayi
Angka Kematian Bayi (AKB) di Nusa Tenggara Barat (NTB) selama periode 2009-2011 mengalami peningkatan. Pada tahun 2009, AKB di Provinsi NTB sebesar 176/1000 kelahiran hidup dan pada tahun 2010 hanya mengalami sedikit penurunan menjadi 174/1000 kelahiran hidup, namun pada tahun 2011 angka tersebut meningkat kembali menjadi 174/1000 kelahiran hidup.
Kabupaten yang memberikan kontribusi paling besar terhadap peningkatan angka kematian bayi di NTB adalah Kabupaten Lombok Timur. Jumlah kasus kematian bayi di Kabupaten Lombok Timur periode 2009-2011 masing-masing sebanyak 625 kasus (2009), 779 kasus (2010) dan 794 kasus (2011). Pada periode tersebut, peningkatan total kasus cukup signifikan, yaitu meningkat sebanyak 164 kasus pada tahun 2010 dan meningkat lagi sebanyak 15 kasus pada tahun berikutnya. Kabupaten lain yang juga mempunyai kontribusi relatif besar terhadap angka kematian bayi di NTB adalah Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Barat, Sumbawa, dan Bima.
Terdapat tren peningkatan angka kematian bayi di Pulau Sumbawa terutama pada periode tahun 2010-2011, dimana terjadi peningkatan dari 60 kasus kematian bayi menjadi 170 kasus. Sedangkan di Kabupaten Lombok Barat terjadi tren penurunan dari 274 kasus menjadi 248 kasus.
2. Data Tren Angka Kematian Ibu
Tren Angka Kematian Ibu (AKI) di NTB pada tahun 2009-2011 juga mengalami fluktuasi serupa dengan tren AKB pada periode yang sama. Pada tahun 2010, AKI di Provinsi NTB mengalami penurunan menjadi 113/100.000 kelahiran hidup dan meningkat signifikan pada tahun 2011 menjadi 130/100.000 kelahiran hidup.
Pulau Lombok memberikan kontribusi signifikan terhadap angka kematian ibu di Provinsi NTB selama tiga tahun tersebut. Tiga kabupaten di Lombok yang mempunyai kontribusi besar terhadap AKI di Provinsi NTB adalah Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat. Sedangkan di Pulau Sumbawa, Kabupaten Sumbawa mengalami peningkatan paling signifikan pada tahun 2011, hingga menjadi kabupaten dengan AKI tertinggi kedua setelah Lombok Timur.
Kabupaten Lombok Timur memiliki AKI tertinggi dari seluruh kabupaten di NTB selama periode 2009-2011. Pada tahun 2011, AKI di Lombok Timur mencapai 38/100.000 kelahiran hidup. Meski tidak mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2010, angka tersebut merupakan yang tertinggi di NTB dan hampir sama dengan gabungan angka kematian ibu di Pulau Sumbawa. Sebaliknya, tren AKI di Kota Bima terus mengalami penurunan, sehingga Bima mempunyai angka kematian ibu terendah dari 10 kabupaten/kota di NTB.
3. Trend of Births with the Assistance of Healthcare Professionals
Jumlah kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan di Provinsi NTB selama periode 2009-2011 mengalami peningkatan dari 80% pada tahun 2010 menjadi 83% pada tahun 2011. Rata-rata jumlah kelahiran dengan bantuan tenaga profesional di seluruh kabupaten mengalami peningkatan. Dari 10 kabupaten/kota di NTB, hanya Kabupaten Dompu dan Sumbawa Barat yang mengalami penurunan pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2010. Namun di tiga kabupaten, yaitu Sumbawa, Lombok Tengah, dan Lombok Utara, total angka kelahiran dibantu berada di bawah angka rata-rata. rata-rata provinsi.
4. Persalinan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Sementara itu, jumlah kelahiran di fasilitas kesehatan di Provinsi NTB mengalami peningkatan dari 67% pada tahun 2009 menjadi 73% pada tahun 2010 dan 79% pada tahun 2011. Tingkat kelahiran di fasilitas kesehatan tertinggi terdapat di Kota Mataram (90%) dan terendah di Kota Mataram. di Dompu dan Sumbawa Barat (64%).
5. Tren Kunjungan K1 di Provinsi NTB Tahun 2009-2011
Kunjungan K1 di Provinsi NTB mengalami tren yang relatif menggembirakan selama tahun 2009-2011. Sehingga pada tahun 2011, 98% ibu hamil melakukan kunjungan K1, dibandingkan 95% pada tahun 2010. Lima kabupaten/kota yang memiliki tingkat kunjungan K1 sebesar 100% pada tahun 2011 adalah Lombok Timur, Dompu, Sumbawa Barat, Lombok Utara, dan Kota Mataram. Sedangkan kabupaten/kota yang mempunyai angka di bawah rata-rata provinsi adalah Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Barat.
6. Tren Visitasi K4 di Provinsi NTB 2009-2011
Grafik di atas menunjukkan adanya tren peningkatan kunjungan K4 di Provinsi NTB selama periode 2009-2011. Dari seluruh kabupaten/kota, hanya Sumbawa Barat yang mengalami penurunan jumlah kunjungan K4 pada tahun 2011 (89%), pada tahun sebelumnya Sumbawa Barat mempunyai angka kunjungan tertinggi di Provinsi NTB, yaitu sebesar 107%..
7. Age Trend of First Marriage in NTB Province 2009-2011
Rata-rata usia kawin pertama di NTB terus mengalami peningkatan selama periode 2009-2011, hingga mencapai 20,46 tahun. Sebelumnya, pada tahun 2010, rata-rata usia pertama kali menikah adalah 19,7 tahun. Pada sebagian besar kabupaten/kota di NTB, terdapat tren rata-rata umur yang fluktuatif. Sedangkan di Lombok Timur dan Lombok Tengah, rata-rata usia kawin pertama meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2009, rata-rata usia penduduk di Kabupaten Lombok Timur adalah 18,5 tahun, dan meningkat menjadi 19,1 tahun pada tahun 2011.
Rata-rata usia kawin pertama di kabupaten Lombok berada di bawah rata-rata provinsi, yaitu antara 19,12 dan 19,99 tahun. Satu-satunya pengecualian adalah Kota Mataram yang rata-rata berusia 21,29 tahun. Sebaliknya, rata-rata usia setiap kabupaten/kota di Pulau Sumbawa berada di atas rata-rata provinsi untuk menikah pertama. Hal ini menggambarkan bahwa pernikahan dini di Lombok masih banyak terjadi.
8. Status of Infant Nutrition in NTB Province 2009-2011
Rata-rata kondisi gizi bayi di NTB pada tahun 2011 lebih baik jika dibandingkan tahun sebelumnya. Tren perbaikan status gizi ini terjadi di sebagian besar kabupaten/kota di NTB, kecuali Lombok Barat, Mataram, dan Lombok Tengah. Grafik di atas juga menunjukkan bahwa status gizi buruk tertinggi terjadi di Kabupaten Sumbawa dengan angka sebesar 0,57%, meskipun mengalami perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, peningkatan kasus gizi buruk terjadi di Kabupaten Lombok Barat, dari 0,15% menjadi 0,33%.
Sebaliknya pada tahun 2010, status gizi buruk di Pulau Sumbawa sangat mengkhawatirkan dengan tingginya kasus gizi buruk. Di Kabupaten Sumbawa, sekitar 0,60% bayi menderita gizi buruk, yang merupakan angka tertinggi di Provinsi NTB pada tahun tersebut. Namun angka ini tidak berkurang secara signifikan pada tahun 2011 dan kabupaten ini masih menjadi penyumbang angka gizi buruk bayi terbesar di Provinsi NTB.
Kabupaten Bima cukup berhasil dalam meningkatkan status gizi bayi, dengan salah satu status terbaik pada tahun 2011. Pada tahun 2010, status gizi bayi di Bima berada pada urutan kedua terburuk setelah Kabupaten Sumbawa. Namun, angka ini berhasil diturunkan menjadi 0,10% pada tahun berikutnya.
- Berdasarkan Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 3 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan, Pemerintah Nusa Tenggara Barat mempunyai 4 kelompok cakupan pelayanan, yaitu (1) Pelayanan Kesehatan Dasar, (2) Pelayanan Kesehatan Rujukan. , (3) Pencegahan Wabah dan Investigasi Epidemiologi, (4) Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
- Pada tahun 2010, sasaran pelayanan dasar yang dicapai hanya pada 4 cakupan pelayanan, yaitu Cakupan Neonatus dengan Komplikasi yang Diobati, Cakupan Visitasi Bayi, Cakupan Bayi Gizi Buruk yang Mendapatkan Pengobatan, dan Cakupan Peserta KB Aktif. Pada tahun 2011, tidak ada satupun cakupan pelayanan dasar yang dapat dicapai.
- Dan dari tahun 2009-2012, capaian indikator SPM pelayanan kesehatan dasar yang dikembangkan hanya pada 7 cakupan pelayanan dasar, yaitu Lingkup Kompilasi Obstetri yang Ditangani, Lingkup Persalinan yang Dibantu Tenaga Kesehatan Kompetensi Kebidanan, Lingkup Visitasi Bayi. , Ruang Lingkup Pelayanan Bayi, Ruang Lingkup Bayi Gizi Buruk yang Berobat, Ruang Lingkup Siswa Sekolah Dasar dan Jaring Kesehatan Sederajat, serta Ruang Lingkup Penemuan dan Pengobatan Penderita Penyakit – Penderita DBD yang Telah Diobati. Dan dari tahun 2009-2012 terdapat 11 cakupan pelayanan dasar yang tidak dapat tercapai.
- Dari indikator SPM pelayanan rujukan, hanya Pelayanan Darurat yang dapat tercapai, sedangkan Pelayanan Kesehatan Rujukan Pasien Miskin tidak tercapai.
- Dari 22 cakupan indikator SPM kesehatan di NTB, baik pada Dinas Kesehatan Dasar, Pelayanan Kesehatan Rujukan, Penyidikan Pencegahan Wabah dan Epidemiologi serta Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat hanya tercapai 12 sasaran, kinerja terburuk terdapat pada pelayanan dasar, dengan hanya 7 dari 18 cakupan kesehatan yang tercapai.
B. ANALISIS ANGGARAN PROGRAM KESEHATAN IBU DAN ANAK (KIA) DI PROVINSI NTB
1. Belanja KIA dan Belanja Kesehatan disesuaikan dengan IHK Provinsi NTB
Tabel pengeluaran kesehatan dan KIA disesuaikan dengan indeks harga konsumen (IHK)
Pengeluaran |
2010 |
2011 |
2012 |
2013 |
Kesehatan |
136,790,207,169 |
196,571,957,146 |
199,713,775,639 |
224,114,756,994 |
KIA |
1,347,526,486 |
812,641,906 |
8,056,379,019 |
2,952,409,954 |
Pertumbuhan riil belanja KIA dan kesehatan di Provinsi NTB dalam tiga tahun terakhir mengalami fluktuasi. Sejak tahun 2011, belanja riil kesehatan meningkat 35% menjadi sekitar 196 miliar, naik dari angka tahun 2010 sebesar 136 miliar. Pada tahun 2012, peningkatannya hanya sebesar 5% (-30%) menjadi 199 miliar, dan meningkat sebesar 12% menjadi 224 miliar pada tahun 2013.
Sedangkan tren pertumbuhan belanja KIA sejak tahun 2011 mengalami penurunan sebesar 534 juta dari tahun 2010 atau persentase pertumbuhan -0,56%. Pada tahun 2012 pertumbuhannya meningkat sebesar 7,2 miliar menjadi 8,06 miliar atau meningkat 0,9%, pada tahun 2013 terjadi penurunan sebesar 5,1 miliar menjadi 2,95 miliar atau sekitar -1,69%. Belanja anggaran kesehatan ini merupakan belanja transfer luar provinsi ke kabupaten melalui biro keuangan berupa belanja bantuan keuangan kabupaten/kota. Melihat tren pertumbuhan belanja KIA tahun 2011-2013, terdapat indikasi bahwa sektor KIA belum menjadi prioritas pemerintah provinsi pada periode tersebut.
2. Belanja Badan terkait kesehatan dan KIA
Tabel : Distribusi belanja kesehatan dan rasio belanja kesehatan
Alokasi anggaran belanja kesehatan yang dikelola berbagai instansi teknis mengalami fluktuasi dalam tiga tahun terakhir. Belanja kesehatan di NTB tidak hanya dikelola oleh instansi kesehatan tertentu, seperti Dinas Kesehatan, RSUD, RSJ, dan Badan Narkotika, namun juga oleh instansi lain seperti Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana. (BP3AKB) dan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPPMD).
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2011 hingga 2013, rumah sakit umum mengelola anggaran paling besar dibandingkan dengan instansi pemerintah lainnya. Namun besaran anggaran ini berfluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2011, alokasi ini sebesar 142 miliar atau sekitar 68% dari total belanja kesehatan. Pada tahun 2012, jumlah ini berkurang menjadi 119 miliar atau 57,6% dan meningkat lagi pada tahun 2013 menjadi 161 miliar atau 70,8% dari total belanja kesehatan. Anggaran yang dialokasikan untuk RSUD provinsi sebagian besar diperuntukkan bagi peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang dikelola melalui sistem Badan Pelayanan Publik, tidak dikhususkan untuk Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
Alokasi terbesar kedua diberikan kepada Departemen Kesehatan yang mengelola anggaran pada tahun 2011-2013 antara 43 dan 67 miliar atau 18,9-30,2% dari total belanja kesehatan. Anggaran yang dikelola Kementerian Kesehatan untuk KIA lebih banyak diarahkan pada program preventif seperti kegiatan konseling dan pengobatan ibu hamil, serta pemberian vitamin dan suplemen makanan.
Yang terbesar ketiga dikelola oleh rumah sakit kesehatan jiwa, dengan alokasi antara 7,9% dan 11,8%. Di sisi lain, Badan Narkotika, BP3AKB, Sekda dan BPMPD hanya mendapat anggaran kurang dari 0,3% dari total belanja kesehatan. Anggaran BP3AKB, SEKDA dan BPMPD dialokasikan untuk kesehatan ibu dan anak (KIA), melalui kegiatan seperti KB, fasilitasi pelayanan KIA (BP3KB), insentif relawan (SEKDA), revitalisasi pos pelayanan terpadu dan evaluasi terpadu. studi (BPPMD). Satu-satunya pengecualian adalah Badan Narkotika, yang pada tahun 2011 hanya mendapat alokasi anggaran sebesar 1,7 miliar, dan tidak ada anggaran pada tahun 2012 dan 2013.
3. Perbandingan Kesehatan dan KIA dengan PDRB
Pemerintah Provinsi NTB belum menjadikan permasalahan kesehatan sebagai prioritas daerah dalam peningkatan produktivitas perekonomian daerah. Pada tahun 2010, belanja kesehatan hanya memberikan kontribusi sebesar 0,79% terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Padahal produktivitas masyarakat akan meningkat seiring dengan membaiknya kesehatan masyarakat. Namun pada tahun 2011 dan 2012, kontribusi belanja kesehatan terhadap PDRB memang mengalami peningkatan, terutama pada tahun 2012 dengan peningkatan belanja KIA sebesar 4,42% dan 0,17%.
4. Perbandingan Belanja Infrastruktur, Pendidikan dan Kesehatan
Proporsi belanja kesehatan di NTB belum sejalan dengan amanat Undang-Undang Kesehatan yang mengharuskan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 10% dari total anggaran daerah (APBD), di luar gaji. Proporsi belanja kesehatan terhadap total belanja daerah tahun 2010-2013 rata-rata berkisar 9,7%, termasuk gaji pegawai negeri. Persentase belanja kesehatan lebih kecil dibandingkan belanja infrastruktur dengan rata-rata alokasi sebesar 17,7%.
5. Alokasi Anggaran Per Kapita untuk Ibu Hamil dan Anak
Bila belanja KIA pada tahun 2010 dan 2010 dilihat berdasarkan per kapita, maka alokasi untuk ibu hamil dan bayi hanya sebesar Rp 6.819 pada tahun 2010 dan Rp 3.930 pada tahun 2011. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan anggaran provinsi untuk jaminan kesehatan daerah ( jamkesda), sebesar 300.000 per orang/tahun.
KESIMPULAN
- Terbatasnya alokasi anggaran KIA berdampak pada besar kecilnya peningkatan AKI/AKB serta terbatasnya pencapaian SPM di NTB.
- Dari 32 variabel SPM kesehatan, hanya 9 variabel yang mencapai target yang telah ditetapkan sesuai Peraturan Gubernur Nomor 3 Tahun 2010.
- AKI dan AKB tertinggi terjadi di Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Utara, Dompu dan Kota Bima;
- Faktor yang mempengaruhi besar kecilnya AKI/AKB di NTB antara lain:
Usia kawin pertama antara 18 – 22 tahun. - KIA belum menjadi prioritas di Provinsi NTB; Hal ini terlihat dari terbatasnya kontribusi belanja kesehatan terhadap PDRB dan terbatasnya alokasi anggaran KIA per kapita.
Untuk mengunduh analisis ini, klik tautan di bawah ini.