Sejak Konferensi Regional Open Government Partnership Wilayah Asia Pasifik di Nusa Dua, Bali pada Mei, 2014 lalu, keyakinan masyarakat sipil bahwa gerakan multilateral pemerintahan terbuka itu dapat membawa perubahan besar dalam sistem pemerintahan Indonesia kian tumbuh. Sejak saat itu pula, masyarakat semakin menyadari bahwa mereka tak lagi berperan sebagai penonton jalannya pemerintahan. Mereka menganggap bahwa masyarakat sipil di era keterbukaan ini seharusnya berperan sebagai teman diskusi dan konsultasi pemerintah. Mereka juga berpendapat bahwa sudah saatnya pemerintah membuka diri dan mau bekerja sama dengan masyarakat sipil dalam merumuskan setiap kebijakan publik.
Hal itu mereka utarakan bukan tanpa alasan. Menurut mereka, keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap pembuatan kebijakan diyakini akan menghasilkan keputusan dan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kepentingan rakyat. Selain itu, partisipasi masyarakat di dalam pemerintahan juga dapat menjaga dan bahkan meningkatkan tingkat akuntabilitas para pejabat negara. Dengan begitu, cita-cita untuk memiliki pemerintahan yang terbuka, bertanggung jawab, dan bersih dari praktik-praktik korupsi dapat terwujud.
Jakarta, 19–20 November 2014. Bekerja sama dengan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Transparency International Indonesia (TII), Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (SekNas FITRA), Indonesian Parliamentary Center (IPC), Indonesian Budget Center (IBC), Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), MediaLink, dan YAPPIKA serta didukung oleh Omidyar Network, HiVos, dan TIFA Foundation, organisasi masyarakat sipil menyelenggarakan sebuah Pertemuan Nasional Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Pemerintahan Terbuka. Pertemuan yang berlangsung di Hotel Royal Kuningan itu dihadiri oleh perwakilan pemerintah seperti Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan anggota DPR, serta perwakilan dari berbagai OMS dari tiga wilayah di Indonesia; barat, tengah, dan timur.
Dalam pertemuan nasional tersebut, masyarakat sipil membahas tata kelola dan kelembagaan partisipasi dalam konsep demokrasi yang ada di Indonesia hingga saat ini, kelemahan, kekurangan, dan perubahan yang telah berlangsung sejak reformasi pada tahun 1998 lalu.
Sesungguhnya partisipasi masyarakat sipil dalam mengawal dan mengawasi pemerintahan sudah cukup besar, tetapi OMS menganggap partisipasi yang sudah cukup tersebut masih perlu dikoordinasikan. Bahkan, OMS berpendapat perlu dibuat sebuah lembaga yang berisikan kelompok-kelompok masyarakat sipil. Tujuannya adalah agar mereka memiliki kedudukan yang sejajar dengan pemerintah yakni sebagai rekan diskusi dan tempat pemerintah berkonsultasi dalam setiap pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan publik.
Untuk itu, OMS berinisiatif membuat sebuah model struktur organisasi yang berkaca pada struktur pemerintahan saat ini. “Tujuannya adalah agar kita bisa duduk sejajar dan bermitra dengan pemerintah”, ungkap Wandy Tuturoong perwakilan dari Transparency International Indonesia (TII).
Gambar 1.1
Berdasarkan skema struktur organisasi pada gambar skema di atas, posisi tertinggi di struktur organisasi OMS adalah steering committee (SC) yang kedudukannya sejajar dengan presiden. Hal tersebut dimaksudkan agar SC dapat mewakili berbagai OMS dalam melakukan diskusi dan dialog dengan Presiden mengenai berbagai kebijakan pemerintah di berbagai sektor yang menjadi prioritas. Sedangkan setingkat di bawah SC terdapat berbagai kelompok kerja yang akan fokus pada isu-isu di sektor-sektor prioritas seperti pelayanan publik, anggaran dan reformasi perpajakan, keterbukaan di parlemen dan partai politik, keterbukaan badan hukum dan peradilan, lingkungan dan Sumber Daya Alam (SDA), dan pembangunan desa. Kelompok-kelompok kerja tersebut kemudian akan berada sejajar dengan kementerian-kementerian yang ada di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Dengan begitu, koordinasi dan komunikasi antara OMS dan pemerintah dalam membahas kebutuhan masyarakat sipil dapat berjalan dengan lancar.
Kelompok-kelompok kerja yang dibentuk akan diisi oleh berbagai OMS yang menaruh perhatian lebih pada sektor-sektor prioritas itu. Sedangkan posisi SC akan diisi oleh perwakilan-perwakilan dari berbagai OMS yang terlibat di dalam kelompok kerja tersebut.
Di dalam pertemuan nasional tersebut telah ditentukan bahwa SC terdiri dari sepuluh aktor OMS yang mewakili enam sektor prioritas. Mereka antara lain, Sugeng Bahagijo yang merupakan SC OGP Global, Nanda Sihombing dari Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) mewakili sektor pelayanan publik, Ahmad Faisol dari MediaLink dan A.S Burhan dari Laskar Batang mewakili sektor pembangunan desa, Lukman Hakim dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Keterbukaan Anggaran (SekNas FITRA) dan Tenti Kurniawati dari Institute for Development and Economic Analysis (IDEA) Yogyakarta mewakili sektor keterbukaan anggaran dan reformasi perpajakan, Choky Ramadhan dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) mewakili sektor keterbukaan badan hukum dan peradilan, Sulastio dari Indonesian Parliamentary Center (IPC) dan Muhammad Akil dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi Selatan mewakili sektor keterbukaan parlemen dan partai politik, dan sektor lingkungan dan Sumber Daya Alam (SDA) yang diwakili oleh Astrid Debora dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Triono Hadi dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau.
Dengan adanya skema tersebut, OMS berharap demokrasi deliberatif yang memberikan ruang lebih kepada masyarakat sipil dan pemerintah untuk saling berdiskusi dan berkonsultasi dalam setiap perumusan kebijakan publik dapat terwujud, sehingga pemerintahan yang lebih transparan, bertanggung jawab, dan bersih dapat tercipta.
Penulis: Ega Rosalina
Penyunting: Nanda Sihombing