Politik Perbatasan Jokowi

Sad Dian Utomo, Direktur Eksekutif PATTIRO

ditulis oleh: Sad Dian Utomo, Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO)

Melalui perbaikan kualitas hidup itu, otomatis warga perbatasan akan merasa nyaman di negeri sendiri sehingga keutuhan wilayah terjaga.

SALAH satu agenda besar yang tidak boleh diabaikan Presiden Jokowi dalam lima tahun mendatang ialah pembangunan kawasan perbatasan. Program terkait perbatasan dari pemerintahan baru seperti tercermin dalam visi misi Jokowi-JK ternyata lebih menitikberatkan pada kedaulatan wilayah negara jika dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat. Padahal menjaga keindonesiaan masyarakat di perbatasan lebih esensial jika dibandingkan dengan sekadar keutuhan wilayah.

Menjaga keutuhan wilayah sudah dilakukan rezim pemerintahan sebelumnya, termasuk SBY. Melalui penjagaan di pos lintas batas negara oleh TNI dan Polri serta patroli, rutin di wilayah perairan. Itu yang disebut sebagai pendekatan keamanan. Namun, hal itu tidak cukup menyelesaikan masalah di perbatasan karena ancaman disintegrasi justru datang dari masyarakat perbatasan yang merasa diabaikan kesejahteraannya oleh pemerintah.

Jokowi menawarkan program prioritas di kawasan perbatasan dalam bidang politik, yaitu diplomasi maritim untuk mempercepat penyelesaian masalah perbatasan, integritas wilayah NKRI, serta mengamankan sumber daya alam dan Zona Ekonomi Eksklusif dan pengembangan tol laut. Hampir tidak ada yang baru jika dibandingkan dengan SBY, kecuali yang terakhir.

Kondisi kawasan perbatasan sendiri sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia. Jalan yang mulus dan terang di Serawak, berbanding terbalik dengan jalan rusak berlubang dan gelap di malam hari di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

Belum lagi kondisi pendidikan dan kesehatan. Di beberapa perkampungan di Krayan Selatan, Kalimantan Barat, anak-anak harus berjalan lebih enam kilometer untuk bersekolah. Kurangnya jumlah guru sehingga guru harus mengajar 2-3 kelas sekaligus. Sebagian besar dari mereka ialah guru honorer. Sarana kesehatan juga masih memprihatinkan.

Hampir seluruh kabupaten di perbatasan memiliki indeks pembangunan manusia (IPM) yang rendah. Ambil contoh Kabupaten Sambas di Kalimantan Barat yang hanya 66,19 atau Kabupaten Morotai di Maluku yang IPM-nya 66,08 jika dibandingkan dengan rata-rata nasional yang 73,29 (data BPS 2012). Angka IPM itu dicerminkan dari indikator pendidikan, kesehatan, dan daya beli.

Selama ini warga di wilayah perbatasan dengan Malaysia, seperti di Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, lebih akrab dengan mata uang ringgit. Mereka menggunakan bahan bakar gas produk Petronas dan membeli kebutuhan pokok seperti gula pasir serta minyak goreng dari Malaysia. Saat sakit, warga lebih memilih berobat ke negeri jiran. Rumah sakit di Tawau, Sabah, Malaysia, bisa ditempuh hanya 20 menit dengan speed boat batu bara, jika dibandingkan dengan puskesmas terdekat di ibukota kabupaten yang perlu waktu sekitar 2 jam. Semua itu dilakukan dalam rangka mengakses pelayanan dasar dan kebutuhan ekonomi.

Bahkan ratusan warga di perbatasan telah direkrut dan digaji sebagai askar wataniah atau milisi militer Malaysia. Menjadi milisi Malaysia tak lepas dari makin sulitnya perekonomian di perbatasan. Bagi mereka, itu ialah pilihan untuk bertahan hidup.

Padahal, secara alami kawasan perbatasan ialah wilayah yang kaya potensi sumber daya alam. Contohnya mineral dan batu bara di kawasan perbatasan Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur, timbal dan bauksit di Kalimantan Barat, mangan di NTT, serta emas dan nikel di perbatasan Papua. Potensi minyak dan gas bumi juga membentang dari Aceh, Natuna, Kalimantan hingga Papua.

Program Massal

Karena itu harus ada upaya serius dan besar-besaran dari Jokowi untuk menyelesaikan masalah di kawasan perbatasan. Pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) di era SBY untuk mengoordinasi program-program perbatasan yang tersebar di berbagai kementerian patut dihargai. Namun, kewenangan BNPP, yang dikepalai oleh Menteri Dalam Negeri, belumlah memadai untuk memastikan program-program itu tepat sasaran dan efektif. Harus ada tindakan khusus dari Presiden Jokowi. Salah satunya meletakkan BNPP berada langsung di bawah Kantor Presiden, seperti halnya program pengentasan kemiskinan yang dibawahi langsung oleh Kantor Wapres.

Program yang tersebar di beberapa kementerian harus dikumpulkan jadi satu, sedangkan kementerian teknis, seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berperan memberikan bimbingan teknis dan mengawasi kualitas pelaksanaan program. Melalui itu, diharapkan program-program tersebut tidak tumpang-tindih dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat perbatasan.

Jokowi juga harus memprioritaskan pembangunan pembangkit listrik di perbatasan, pembangunan fasilitas kesehatan, seperti puskesmas dan rumah sakit, penyediaan dokter dan tenaga kesehatan, serta membangun sarana air bersih secara massal. Masyarakat di perbatasan juga perlu mendapat prioritas untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi.

Agar program-program itu bisa tepat sasaran, politik anggaran juga harus disinkronkan dengan kondisi daerah. Harus lebih banyak dana yang diserahkan ke daerah untuk mengelola program-program pembangunan. BNPP dan kementerian teknis berperan mengawal implementasi program-program tersebut.

Dana alokasi khusus (DAK) untuk kawasan perbatasan juga harus didongkrak serius. Data Bappenas menunjukkan DAK untuk kabupaten di perbatasan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Kurang dari Rp2,8 triliun pada 2013. Bandingkan dengan DAK untuk daerah tertinggal lainnya yang lebih dari Rp12,8 triliun, atau daerah maju yang mencapai Rp15 triliun. Proporsi jumlah DAK itu hampir tidak berubah sejak 10 tahun lalu (2003-2013). Padahal kebutuhan infrastruktur lebih besar untuk mengejar ketertinggalan kawasan perbatasan.

Sektor swasta juga harus didorong untuk berinvestasi di perbatasan. Agar menarik, sejumlah fasilitas pembiayaan dan keringanan pajak harus diberikan. Sektor perikanan dan agrowisata ialah dua sektor yang prospektif untuk dikembangkan di kawasan perbatasan laut. Untuk kawasan perbatasan darat, sektor energi dan migas sangat potensial untuk digarap. Hal itu penting dilakukan agar roda perekonomian di perbatasan berputar menandingi negara tetangga.

Jokowi juga harus mampu mengajak lembaga kerja sama pembangunan internasional untuk bekerja di wilayah perbatasan. Melalui program hibah untuk peningkatan kapasitas aparatur pemerintah dan pemberdayaan masyarakat, diharapkan pemerintah daerah mampu merespons kebutuhan masyarakat dengan cepat sehingga ancaman disintegrasi dapat diantisipasi sedini mungkin.

Program besar-besaran itu harus menjadi prioritas Jokowi. Jadi, dalam lima tahun mendatang ada perubahan signifikan bagi kualitas hidup masyarakat perbatasan. Melalui perbaikan kualitas hidup itu, otomatis warga perbatasan akan merasa nyaman di negeri sendiri sehingga keutuhan wilayah terjaga. Bila tidak, ancaman gabung ke negara tetangga bisa jadi kenyataan. Bagi warga perbatasan, terlalu hijau rumput tetangga, sementara halaman rumah gersang kering kerontang.

*Artikel ini dimuat di kolom Opini Harian Media Indonesia edisi Kamis, 30 Oktober 2014.

Scroll to Top
Skip to content