WARTA KOTA, JAKARTA – Direktur Eksekutif Pusat Telaah Informasi Regional (PATTIRO) Sad Dian Utomo mengatakan Menteri Kesehatan Nila Djuwita F Moeloek memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk menangani tingginya angka kematian ibu (AKI) di Indonesia.
“Banyak pekerjaan rumah menanti yang harus dibereskan oleh Nila Moeloek dengan jabatan barunya ini. Terutama menurunkan AKI sebagai bagian dari ‘Millenium Development Goals’ (MDGs),” kata Sad di Jakarta, Rabu.
Beberapa PR tersebut, kata dia, adalah faktor aspek tenaga ahli kesehatan. Kesejahteraan bidan yang tidak diperhatikan menjadi salah satu isu. Gaji rendah, bahkan di bawah angka upah minimum. Padahal investasi yang dikeluarkan saat pendidikan tidaklah sedikit.
“Belum lagi standarnya yang kurang terkendali karena standarisasi tidak dipegang langsung oleh Kemenkes. Di lain sisi, minimnya jumlah dokter yang diterjunkan ke lapangan pun turut memperparah kondisi ini,” kata dia.
Sad mengatakan kendala infrastruktur juga harus segera diperhatikan Kemenkes. Kenyataan yang terjadi adalah banyak dibangun Puskesmas Pembantu (Pustu) di tingkat desa, tapi tidak ada bidan yang bekerja dan manajemen operasional yang tidak jelas. Contoh tersebut ditemukan oleh tim riset PATTIRO, salah satunya di Provinsi Banten.
Kenyataan lain, masih kata Sad, ialah pusat pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau sehingga masyarakat harus merogoh kantong dalam-dalam hanya untuk biaya transportasi.
“Kondisi jalan yang rusak atau bahkan tidak tersedia turut memperkeruh keadaan ini, sehingga beberapa kasus memaksa si ibu hamil menggunakan cara lain untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, seperti berjalan kaki atau menggunakan perahu. Padahal jelas itu membahayakan si ibu dan calon bayinya,” katanya.
Pekerjaan rumah lainnya adalah penanganan aspek sosial budaya juga erat kaitannya mempengaruhi kondisi buruk terkait AKI. Di beberapa daerah di Indonesia, ada mitos kepercayaan bahwa ibu dan bayi tidak boleh dibawa keluar rumah sebelum 40 hari. Padahal, justru masa tersebut adalah masa rentan untuk ibu yang baru melahirkan, sehingga sebenarnya diperlukan pengawasan dan perawatan intensif dari tenaga medis.
“Sementara, keputusan untuk evakuasi jika diperlukan tidak diambil oleh sang ibu. Biasanya keputusan tersebut diambil oleh sang suami atau keluarga. Sekalipun begitu, tetap dibutuhkan bantuan warga sekitar untuk membantu dalam pengantaran.”
Oleh karena itu, Sad memandang diperlukannya dukungan seluruh elemen di lingkungan sekitar untuk membantu si ibu dan bayi bertahan melewati masa rentan tersebut. “Yang tak kalah pentingnya adalah dibuatnya kebijakan nyata untuk menguatkan fungsi dan peranan Puskesmas sebagai ujung tombak fasilitas kesehatan masyarakat.”
“Nila Moeloek yang telah berpengalaman menjadi utusan khusus Presiden Republik Indonesia untuk MDGs sejak tahun 2010 ini memang akan memikul beban berat terkait permasalahan AKI ini. Pada akhirnya, kita boleh berharap jam terbang beliau akan membawa perubahan signifikan untuk manajemen Kementrian Kesehatan yang lebih baik,” kata dia.
Lebih lanjut, dia menerangkan data hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan AKI semakin parah yaitu 359 kasus per 100 ribu kelahiran. Situasi tersebut lebih buruk dibanding saat krisis tahun 1997, yaitu 334 per 100 ribu kelahiran.
“Global Burden Disease” tahun 2013, kata dia, menyatakan setiap jam di Indonesia seorang ibu meninggal akibat hamil atau melahirkan, dan 17 balita meninggal. Semua fakta itu terbilang mengenaskan apalagi mengingat Indonesia sedang mengejar target MDGs dengan jumlah AKI tidak boleh lebih dari 102 kasus.
“Seolah menjelaskan, informasi dari Asian Development Bank (ADB) tahun 2013 menunjukkan program-program pengendalian kematian ibu dan bayi yang dilakukan Pemerintah Indonesia tidak efektif,” katanya. (Antara)
*Siaran pers ini dimuat di situs berita Warta Kota pada hari Rabu, 29 Oktober 2014. Baca artikelnya di sini.