Perkembangan Rancangan Undang-Undang Tentang Penyandang Disabilitas

Oleh: Nurjanah*
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat sudah tidak relevan untuk digunakan. Baik dalam konteks sosiologis, yuridis, maupun filosofis, peraturan ini harus segera direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip yang sudah diatur dalam Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Untuk mengubah stigma dan perlakuan negatif masyarakat serta untuk menyesuaikan peraturan dengan kebutuhan penyandang disabilitas, maka sejak tahun 2012, advokasi pun mulai dilakukan. Tujuannya adalah untuk membentuk undang-undang baru yaitu Rancangan Undang-undang (RUU) Penyandang Disabilitas. Kelompok Kerja RUU Penyandang Disabilitas dan Komnas HAM saat itu bekerja keras untuk dapat memasukan RUU ini sebagai Program Legislasi Nasional (Polegnas) tahun 2014. Namun sayangnya, hal itu tidak dapat dilanjutkan karena masa jabatan anggota DPR RI berakhir pada tahun 2014. Alhasil, proses legislasi kembali dari titik nol lagi. Baru pada tahun 2015, RUU ini masuk menjadi prioritas pembahasan yang saat ini sedang dalam proses harmonisasi di Badan Legislatif.

PATTIRO sebagai lembaga yang fokus pada isu pelayanan publik pun ikut mendorong adanya RUU ini. Keterlibatan dalam pembuatan peraturan daerah mengenai penyandang disabilitas juga dilakukan oleh PATTIRO Surakarta hingga membuahkan hasil berupa Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel. PATTIRO juga mengembangkan advokasi kebijakan dalam mendorong pelayanan kependudukan yang non-diskriminatif di Kota Malang pada tahun 2010-2011.

Berbagai permasalahan mendasar terkait dengan kesetaraan dan keadilan penyandang disabilitas baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial masih ditemukan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah juga dirasa belum menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan bagi difabel. Kurang pahamnya pemerintah terhadap hak-hak disabilitas sangat mempengaruhi keberlangsungan hidup para difabel yang sejahtera, aman, dan nyaman. Karena tidak dianggap isu prioritas, banyak usulan-usulan program untuk pengembangan kapasitas dan infrastruktur tidak diakomodir dalam belanja Pemerintah.

Memang tidak mudah mengubah cara pandang negatif masyarakat dan pemerintah terhadap disabilitas. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia dalam bukunya yang berjudul Menuju Indonesia Ramah Disabilitas (2015) menjelaskan:

“Selama ini pemerintah masih mengunggunakan pendekatan lama yaitu charity based (berbasis sumbangan)Dengan cara demikian, penyandang disabilitas masih dianggap sebagai kelompok yang tidak beruntung dan tidak mampu bersaing. Anggapan tersebut terjadi karena kebijakan yang ada hanya fokus melihat kondisi fisik atau ketidakmamuan saja. Padahal mereka adalah bagian dari warga negara yang juga harus dijamin pemenuhan hak-haknya.” (p. 117)

Selain masalah cara pandang negatif, ada hal lain yang dianggap sederhana namun berdampak besar yaitu tidak tersedianya data difabel di tiap-tiap daerah di Indonesia. Hingga saat ini, pemerintah belum memiliki data terpilah difabel yang akurat. Hal ini tentu berdampak pada pemenuhan hak-hak para difabel seperti memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan, hingga hak yang paling mendasar yaitu memperoleh kesempatan untuk dapat berinteraksi secara wajar dengan lingkungan.

PATTIRO menilai bahwa pendataan difabel adalah hal yang harus dillakukan. Untuk itu tim program peduli difabel PATTIRO yang berada di Kabupaten Lombok Barat dan Sorong berfokus pada masalah tersebut. Pendataan dilakukan melalui penilian awal yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan baseline survei. Untuk mendapatkan pendataan secara maksimal dan komprehensif, PATTIRO akan membangun kerja sama dengan Dinas Sosial Kabupaten Lombok Barat dan Sorong untuk mengembangkan aplikasi SMS Gateway. PATTIRO berharap aplikasi yang akan dibuat ini dapat menjadi solusi untuk meminimalisir kerumitan masalah yang ada.

*Penulis adalah Program Officer Program Peduli Perempuan Difabel

Scroll to Top
Skip to content