Jakarta – PATTIRO menemukan masih banyak pemerintah kabupaten yang belum menjalankan amanat Undang-Undang Desa untuk mengalirkan setidaknya 80% dana desa pada pencairan tahap kedua, Agustus lalu. Bahkan pada awal Oktober, sebagaimana temuan di kawasan timur Indonesia, masih ada desa yang hanya menerima 60% dari dana tersebut.
Sejauh ini, pencairan dana sebesar lebih dari Rp 20 triliun untuk desa telah dilakukan sebanyak dua tahap. Jika pemerintah tidak kembali mengulur-ulur waktu, pada bulan November 2015, pencairan dana desa tahap terakhir seharusnya akan dimulai. Sebelumnya, proses pencairan dana desa tahap satu dan dua banyak mengalami kendala, dari proses pencairan dari pusat ke kabupaten dan dari kabupaten ke desa. Sementara itu, PATTIRO menemukan masalah lebih banyak muncul pada proses yang disebut terakhir.
Direktur Eksekutif PATTIRO Sad Dian Utomo menyebut berbagai modus digunakan pemerintah kabupaten untuk mengambil keuntungan dari proses pencairan dana desa. Modus pertama, pemerintah kabupaten kerap tidak bersifat transparan kepada perangkat dan masyarakat desa dalam memberikan informasi jumlah dana yang telah menjadi hak desa. “Sering kali, desa tidak diberi informasi mengenai berapa sesungguhnya jumlah uang yang akan mereka terima dari pemerintah pusat. Jika pun hal itu disampaikan, tak jarang jumlah dana desa yang diinformasikan kepada mereka berbeda dengan yang tercantum di dalam peraturan bupati”, jelas Sad Dian.
Sad Dian menambahkan, akibat kurang pendampingan dan sosialisasi dari pemerintah pusat, pada tahap satu pencairan, banyak pemerintah kabupaten yang tidak mengetahui bahwa dana desa berasal sepenuhnya dari APBN. “Seperti yang terjadi di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, pemerintahnya mengatakan kepada para kepala desa bahwa dana 40% yang mereka terima, 20%-nya berasal dari APBN dan sisanya dari ADD. Inilah sebab masih ada desa yang sampai saat ini baru menerima 60% dari dana tersebut”, tuturnya. Alih-alih segera memberikan sisanya, pemerintah kabupaten justru memanfaatkan kurangnya pemahaman dan pengetahuan perangkat desa akan hal ini untuk tetap menyimpan 20% dana milik desa.
Banyak pula pemerintah kabupaten yang menunda penyaluran dengan alasan desa belum siap secara administrasi yaitu belum memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Des). “Dengan alasan inilah kemudian pemerintah kabupaten mendepositokan dana desa agar kemudian bisa mengambil keuntungan darinya,” ujar Sad Dian.
Selain itu, pemerintah kabupaten tak jarang memanfaatkan posisi pemerintah desa yang masih lemah untuk mengambil keuntungan. Salah satu modus yang digunakan pemerintah kabupaten yang PATTIRO temukan adalah membebankan biaya pelaksanaan program seperti program pelatihan yang mereka miliki ke APB Desa. “Yang lebih parahnya lagi, pemerintah kabupaten masih membebankan biaya sekitar Rp10 juta kepada desa agar pemerintahnya bisa mengikuti program pelatihan ini”, tutur Sad Dian. Cara lain untuk mengeruk rupiah berlebih juga kabupaten lakukan dengan menarik dana dari APB Des setidaknya Rp35 juta per desa untuk biaya pengadaan perlengkapan kantor dan sound system. “Dana itu memang benar digunakan untuk membeli perlengkapan kantor dan sound system, tapi wewenang untuk menunjuk perusahaan penyedia barang tersebut diambil alih oleh kabupaten. Ini menunjukkan bahwa pemerintah desa masih lemah karena mereka manut saja dengan perintah dari kabupaten tanpa mempertanyakan hal itu sebelumnya”, tukas Sad Dian.
Tak hanya pemerintah kabupaten, pemerintah desa pun juga kerap kali memanfaatkan ketidaktahuan warganya untuk melakukan kecurangan. Saat mendapat kucuran dana ratusan juta rupiah, pemerintah desa tidak segera menggunakan dana tersebut dengan mendanai berbagai program dan kegiatan yang telah mereka susun. “Para oknum perangkat desa tersebut banyak yang beralasan bahwa dana tersebut belum ditransfer oleh pemerintah kabupaten atau tak jarang juga mereka katakan bahwa mereka masih menunggu pencairan tahap kedua. Tujuannya ya untuk mendapatkan keuntungan dari mendepositokan uang tersebut”, pungkas Sad Dian.
Agar kecurangan tak terulang pada saat pencairan tahap ketiga, PATTIRO mendorong masyarakat agar turut berpartisipasi secara aktif dalam melakukan pengawasan terhadap keuangan desa. Partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan dan keuangan desa telah dijamin di dalam Undang-Undang Desa pasal 82. Lembaga antirasuah Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga perlu terlibat mengawasi aliran dana tersebut hingga ke level desa. Caranya, KPK dapat merekrut masyarakat desa untuk menjadi sukarelawan pemantau dana desa. “Kami meyakini jika pengawasan dari masyarakat desa berjalan optimal, berbagai kasus penyimpangan seperti ini pasti dapat dicegah”, tandas Sad Dian.
Artikel ini dimuat di:
Liputan6.com dengan judul Terungkap Cara Pemda Selewengkan Dana Desa