Setahun Pemerintahan Jokowi-JK, Komitmen Open Government Merosot

JAKARTA — Organisasi masyarakat sipil menilai selama setahun Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berjalan, komitmen terhadap pelaksanaan Open Government Partnership (OGP) cenderung merosot. Walau Indonesia merupakan salah satu pemrakarsa inisiatif OGP, sampai saat ini Pemerintah belum membentuk kebijakan yang jelas untuk mengoperasikan inisiatif OGP secara konkret.

Ilham Saenong dari Transparency International Indonesia (TII) menyatakan, OGP merupakan inisiatif multi pihak yang berfokus dalam mewujudkan pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif terutama dalam melayani kepentingan publik. Namun, selepas pembubaran Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada tahun lalu, belum ada institusi mana pun yang menggantikan kedudukannya sebagai leading agency inisiatif OGP. “Akibatnya, program-program transparansi dan keterbukaan tidak terkoordinasi dengan baik. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, langkah-langkah yang diambil pemerintah cenderung berlawanan dengan prinsip keterbukaan, yang ujungnya memperlambat upaya pemberantasan korupsi,” ujar Ilham.

Mujtaba Hamdi dari Perkumpulan Media Lintas Komunitas (MediaLink) menambahkan, komitmen terhadap prinsip pemerintahan terbuka tidaklah cukup hanya dengan dokumen Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). “Walaupun Nawacita menyebut bahwa pemerintah berkomitmen mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya, itu hanya akan jadi slogan kosong jika komitmen terhadap OGP saja tidak jelas. Sampai hari ini, belum ada sepatah kata pun dari Presiden dan Wakil Presiden tentang posisi Indonesia terhadap OGP,” ucap Mujtaba. Ia menambahkan, RPJMN 2015-2019 memang menyebutkan pengarusutamaan ‘open government’ dalam tatakelola pemerintahan. “Namun, itu hanya akan menjadi dokumen mati jika tidak muncul dalam bentuk kebijakan dan praktik pemerintahan yang nyata,” imbuhnya.

Lebih jauh, Beka Ulung Hapsara dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menerangkan, hingga saat ini inisiatif OGP hanya dikelola secara informal oleh tiga institusi, yakni Kantor Staf Presiden (KSP), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Kementerian Luar Negeri. “Namun institusi-institusi tersebut bergerak tanpa payung hukum yang jelas. Sangat ironis bahwa inisiatif OGP yang menjanjikan tata kelola pemerintahan yang bersih dan efektif dikelola seperti paguyuban, tanpa kerangka legal apapun,” tegasnya. Menurutnya, jika serius, Presiden seharusnya  menerbitkan Perpres atau Inpres yang khusus memandatkan pengelolaan OGP. Terlebih, prinsip-prinsip OGP harus tercermin dalam pelaksanaan Tujuan Pembangunan Global (Sustainable Development Goals/SDGs) yang baru saja disahkan pada bulan lalu. “Tanpa kerangka legal yang jelas, OGP seperti ‘roh gentayangan’, tidak memiliki tubuh yang definitif. Dampaknnya nanti, pelaksanaan SDGs yang tanpa dibarengi keterbukaan pemerintah dan partisipasi publik akan amburadul,” tambah Beka.

Sementara itu, Nanda Sihombing dari Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) mengemukakan, Indonesia sedang menjadi sorotan dunia terkait keterlibatannya di dalam inisiatif OGP. “Indonesia kembali terpilih sebagai Komite Pengarah untuk tiga tahun ke depan. Indonesia diharapkan mampu berperan untuk memengaruhi negara-negara lain di Asia Pasifik untuk bergabung dengan OGP. Akan tidak elok jika kita kemudian Indonesia tidak mampu memberikan contoh yang baik,” pungkasnya.

Sebagai informasi, inisiatif Open Government Partnership diluncurkan pada 20 September 2011 oleh 8 negara pemrakarsa yaitu Indonesia, Brazil, Meksiko, Norwegia, Filipina, Afrika Selatan, Inggris dan Amerika Serikat. Saat ini, OGP telah beranggotakan 65 negara.

Artikel ini dimuat di:
BeritaSatu.com dengan judul Setahun Pemerintahan Jokowi-JK, Komitmen “Open Government Partnership” Merosot

Scroll to Top
Skip to content