Jakarta, 28 Januari 2016 – Indonesia saat ini tengah menghadapi permasalahan gizi yang rumit. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa angka prevalensi balita dengan berat kurang mencapai 19,6 persen. Sementara itu, masalah gemuk pada anak masih tinggi yaitu 18,8 persen, begitu pun pada remaja dan orang dewasa. PATTIRO menilai, pemerintah desa sebagai tingkatan pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat memiliki tanggung jawab yang besar dan harus ikut terlibat aktif dalam menangani permasalahan gizi di tanah air.
“Dengan keberadaan Undang-Undang Desa, desa melalui pemerintahan dan kelembagaan sosial di desanya, kini memiliki kewenangan untuk langsung terlibat dalam penanganan kasus gizi yang terjadi di wilayahnya. Jadi desa tidak perlu lagi menunggu intervensi dari pemerintah di atasnya,” ujar Direktur Eksekutif PATTIRO Sad Dian Utomo. Selain itu, Sad Dian menambahkan, dengan sumber dana yang relatif lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya yaitu mencapai sekitar Rp600 juta-an per desa, pemerintah desa seharusnya mampu memberikan kontribusi signifikan dalam pengentasan masalah gizi.
Sayangnya, tutur Sad Dian, selama ini tidak banyak dana yang dianggarkan oleh pemerintah desa untuk menangani atau mencegah kasus gizi kurang, gizi buruk, maupun gizi lebih. “Desa masih lebih memerhatikan pengembangan infrastruktur. Diperparah dengan pemerintah pusat yang mewacanakan penggunaan dana desa tahun ini 100% untuk infrastruktur, padahal kasus gizi kurang dan gizi buruk masih banyak,” imbuhnya.
Sad Dian menyarankan, pemerintah desa sebaiknya mengalokasikan anggaran terutama untuk penanganan dan pencegahan kasus gizi kurang dan gizi buruk dan membahasnya di dalam musyawarah desa. Sad Dian menjelaskan, dana yang dianggarkan tersebut dapat digunakan untuk melengkapi alokasi dana posyandu yang diberikan oleh pemerintah kabupaten. “Kemudian, pemerintah desa bisa menggunakan dana-dana tersebut untuk memberi lebih banyak bantuan makanan pendamping ASI kepada balita,” tuturnya.
Dana tersebut dapat pula digunakan untuk meningkatkan kemampuan public speaking para kader posyandu terutama untuk melakukan promosi kesehatan. “Bisa juga dana itu dipakai untuk melatih para kader posyandu mengolah bahan lokal namun bernutrisi tinggi untuk balita sehingga mereka dapat membantu masyarakat di desanya, ” tambah Sad Dian.
Selain pentingnya komitmen pemerintah desa terkait alokasi angaran, Sad Dian kembali menerangkan, pemerintah desa harus mulai mengajak warganya untuk membahas permasalahan kesehatan seperti gizi kurang dan gizi buruk di dalam forum musyawarah desa. “Selama ini musyawarah desa lebih sering membahas masalah dan kebutuhan fisik masyarakat seperti pembangunan infrastruktur saja. Kebiasaan ini harus diubah agar masyarakatnya sendiri lebih sadar dan mengetahui situasi kesehatan desanya. Toh masalah ini merupakan tanggung jawab bersama,” kata Sad Dian.
Lebih lanjut, ujar Sad Dian, pemerintah desa harus berani menagih peran dinas kesehatan dan puskesmas untuk membantu menangani permasalahan gizi di desa. “Pemerintah desa harus berani dan aktif minta dinas kesehatan dan puskesmas untuk ikut berperan dengan menugaskan para tenaga ahli gizi yang mereka miliki untuk keliling ke posyandu dan poskesdes. Kedatangan ahli gizi itu kan juga bisa meningkatkan kapasitas kader kesehatan di desa,” imbuhnya.
“Perlu diingat, semakin banyak balita atau anak yang menderita masalah gizi, semakin Indonesia kehilangan generasi mudanya. Untuk itu, perlu komitmen yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat,” tandas Sad Dian.
Artikel ini dimuat di Tribunnews.com dengan judul Desa Harus Membantu Anak Gizi Buruk.