Oleh: Didik Purwondanu*
“Tetapi transparansi ini perlu diperluas melampaui sektor publik dan juga sektor swasta. Kita perlu mengetahui siapa yang benar-benar memiliki dan mengendalikan perusahaan kita, bukan hanya siapa yang memiliki perusahaan secara sah, namun siapa yang benar-benar mendapatkan keuntungan finansial dari keberadaan perusahaan tersebut.”
Hal ini merupakan bagian dari pidato David Cameron pada Open Government Summit pada tanggal 31 Oktober 2013 yang dihadiri banyak pemimpin pemerintahan dari berbagai negara. Bagaimana keterbukaan tidak hanya sekedar urusan biasa hubungan negara dengan masyarakat sipil, namun juga menyentuh pilar swasta yang berkontribusi membayar pajak dan mendukung negara sebagai platform berkelanjutan.
Setelah Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ) minggu lalu menggemparkan Panama Papers, dalam waktu yang sangat singkat korban jiwa pun bertambah. Dokumen tersebut berisi 11,5 juta dokumen rahasia dan sudah membuat Perdana Menteri Islandia di Reykjavik mengundurkan diri setelah demonstrasi. Pidato Cameron tentang transparansi mempunyai relevansi dengan momentum ini. Mossack Fonseca membuat perusahaan cangkang untuk menyembunyikan kepemilikan aset. Pemiliknya biasanya mempekerjakan orang untuk bertindak sebagai perusahaan pengelola. Motif para investor bermacam-macam, mulai dari penghindaran pajak, pencucian uang, penipuan, hingga sekadar menyembunyikan kekayaan.
Bagi masyarakat Inggris, sebutan tersebut juga menjadi sebuah ironi karena salah satu nama yang ada dalam daftar tersebut adalah ayah Cameron, Ian Cameron. Sang ayah terdaftar sebagai pemilik basis Perusahaan Blairmore yang berlokasi di negara-negara surga pajak. Selama 30 tahun berdirinya, perusahaan ini bahkan belum pernah membayar pajak ke Inggris. Setelah mendapat tekanan selama berhari-hari, Cameron menyatakan dirinya pernah mendapat keuntungan sebesar US$ 42 ribu dari penjualan saham Blairmore Trust pada 2010, empat bulan sebelum menjadi Perdana Menteri.
Dokumen ini juga mempercepat momentum pembahasan RUU Pengampunan Pajak Indonesia, dengan harapan uang banyak nama masyarakat Indonesia bisa digunakan untuk membeli obligasi negara kemudian membangun infrastruktur dan lain-lain. Hal ini tentu tidak mudah, karena selama bertahun-tahun banyak korporasi yang juga menghimpun dananya dengan berbagai modus penipuan, bukan sekadar penghindaran pajak.
Lebih jauh lagi, hal ini juga dapat menjadi momentum besar untuk mendorong roda keterbukaan di sektor swasta. Dalam hal kepemilikan manfaat ini, salah satu rencana aksi Kemitraan Pemerintah Terbuka Inggris 2013-2015 adalah membuat daftar terpusat yang dapat diakses oleh publik mengenai manfaat kepemilikan suatu perusahaan. Sejak tahun lalu, Inggris sudah mewajibkan perusahaan untuk mencantumkan nama orang-orang yang memiliki pengaruh atau kendali signifikan (person with signifikan effect or control atau “PSC”) terhadap perusahaan tersebut. Diperkirakan pada bulan Juni tahun ini, Inggris akan mulai membuka seluruh nama PSC melalui registrasi yang dapat diakses oleh publik.
Belajar dari pengalaman Inggris, Indonesia pada dasarnya baru memulai Single Investor Identity. Namun nyatanya hal tersebut tidak pernah cukup untuk mendorong transparansi kepemilikan aset. Pertama, harus ada mekanisme transparansi kepemilikan akhir (ultimate owner) atau identitas manusia yang memiliki saham di anak perusahaan.
Kedua, harus ada mekanisme transparansi manfaat kepemilikan (beneficial owner) yakni, transparansi tidak hanya mencakup orang-orang yang mempunyai kepentingan saja, namun juga pihak-pihak yang mendapat manfaat dari suatu perusahaan (nominee, trust, spesifik power, dan sebagainya). Kedua gagasan tersebut harus dimasukkan ke dalam Rencana Aksi Open Government Indonesia (OGI) 2016.
Menggunakan empat kuadran transparansi menurut Archon Fung (2014), apa yang terjadi di Islandia semakin membuktikan kebenaran informasi publik memanfaatkan tindakan kolektif. Keterlibatan ICIJ berada pada kuadran pertama atau Freedom of Information, sedangkan transparansi sektor swasta dapat ditempatkan pada kuadran keempat yaitu Transparansi Perilaku Perusahaan yang Bertanggung Jawab. Istilah tanggung jawab tidak hanya berarti pada permasalahan ketenagakerjaan atau lingkungan hidup, namun dalam hal ini juga mengenai transparansi kepemilikan. Transparansi di sektor swasta tidak hanya penting dalam urusan perpajakan. Hal serupa juga terjadi di Islandia bagaimana informasi yang relevan dapat membangkitkan rasa urgensi tindakan kolektif di masyarakat sehingga menjadikannya tsunami perubahan.
Dalam dokumen yang bocor itu juga ditemukan perusahaan cangkang milik Ketua BPK Harry Azhar Azis. Sebagai pejabat publik, persoalan ini sangat sensitif karena menyangkut soal transparansi, perannya Harry Azhar sebagai pimpinan auditor negara. Setelah tekanan publik Perdana Menteri Islandia mundur, Perdana Menteri Inggris David Cameron disorot karena kasus ayahnya, Ketua Transparency International Chile pun mundur. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
*) Penulis adalah ketua tim Proyek Transparansi untuk Pembangunan (T4D) di Indonesia – penelitian gabungan Harvard Kennedy School dengan PATTIRO