Masyarakat kembali dibuat resah setelah Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia menangkap pembuat dan pengedar vaksin balita palsu di Bekasi pada Rabu, 22 Juni 2016 lalu. Menanggapi hal tersebut, pada Minggu, 26 Juni 2016, Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kini tengah mendata rumah sakit yang mungkin memakai vaksin tersebut. Menteri Nila juga mengimbau agar para orang tua yang anaknya mendapat suntikan vaksin palsu segera mengulang pemberian vaksin yang akan disediakan secara gratis oleh pemerintah[1].
Terkait dengan hal itu, Direktur Eksekutif PATTIRO Sad Dian Utomo menekankan, setelah Kemenkes mendapatkan data rumah sakit pengguna vaksin palsu, mereka harus membuka informasi tersebut kepada publik. “Karena ini menyangkut kepentingan masyarakat luas, Kemenkes wajib membuka informasi mengenai rumah sakit pengguna vaksin palsu. Perlu diketahui, salah satu akibat dari pemberian vaksin palsu adalah anak menjadi tidak kebal terhadap suatu penyakit. Jadi, publik berhak tahu sebab hal ini terkait dengan kondisi kesehatan anak-anak mereka di masa mendatang,” tegas Sad Dian.
Oleh karenanya, Sad Dian menambahkan, pemerintah harus mengesampingkan kemungkinan terganggunya iklim bisnis rumah sakit yang terbukti menggunakan vaksin palsu.
Selain itu, ujar Sad Dian, dengan mentransparansikan data rumah sakit tersebut, masyarakat dapat dengan mudah mengetahui apakah anak mereka menjadi korban pemberian vaksin palsu atau tidak. “Jika data tersebut tidak dibuka ke publik, bagaimana orang tua bisa tahu apakah vaksin yang disuntikkan ke anak mereka asli atau palsu,” tuturnya.
Sad Dian mengatakan, jika masyarakat mengetahui data tersebut, mereka dapat dengan segera mengambil tindakan seperti misalnya memvaksin ulang anak mereka agar tidak terjangkit penyakit berbahaya seperti polio, tuberculosis (TB), hepatitis, dan lainnya.
Lebih lanjut, terkait dengan rencana pemerintah memberikan vaksinasi ulang secara gratis, Sad Dian menuturkan bahwa Kemenkes harus bersungguh-sungguh mewujudkan komitmen tersebut. “Jangan sampai, rencana tersebut hanya merupakan respon reaktif dari Kemenkes. Harus ada tindak lanjutnya,” pungkasnya.
Menurut Sad Dian, sebelum dapat memberikan vaksinasi ulang, Kemenkes harus membuat dan menyosialisasikan alur pelaporan kepada masyarakat. “Setelah mengetahui anak mereka menjadi korban pemberian vaksin palsu, orang tua tentu butuh tempat untuk melapor. Jadi, ini hal yang pertama kali perlu Kemenkes siapkan, kepada siapa dan kemana orang tua dapat melapor. Alur ini harus dibuat dengan jelas dan juga disosialisasikan ke masyarakat,” ujarnya.
Tidak hanya itu, mengenai pemberian vaksin ulang secara gratis, Sad Dian menuturkan, Kemenkes juga harus membuat sebuah mekanisme yang jelas. Kemenkes perlu memberi penjelasan secara terperinci hal-hal apa saja yang perlu masyarakat lakukan setelah melapor kepada pihak yang mereka tunjuk.
“Misalnya, setelah melapor, apakah ada syarat dan ketentuan tertentu yang perlu masyarakat lengkapi atau apakah perlu verifikasi terlebih dahulu. Selain itu, Kemenkes juga harus menentukan dimana masyarakat bisa memperoleh vaksinasi ulang untuk anak mereka. Ini harus dibuat sejelas-jelasnya agar masyarakat tidak bingung dan jika memang Kemenkes serius mewujudkan komitmennya,” tandas Sad Dian.