Komunitas Difabel Lombok Barat Semakin Berdaya

Oleh Riska Hasan Amelia*

13221039_10201846349757654_171564809877700096_nOrganisasi difabel di Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat tidak bisa diremehkan. Pergerakan yang dilakukan oleh Kelompok Difabel Lingsar Bergerak (KDLB) dan Pusat Pengembangan Potensi Difabel (P3D) Labuapi di Lombok Barat tidak berhenti pada pengorganisasian di simpul kecamatan. Bahkan pada bulan Maret dan Juni 2016, kedua organisasi itu telah berhasil melakukan advokasi untuk pembuatan kartu peserta BPJS Kesehatan bagi para difabel dan keluarga. Lebih dari 230 kartu kepesertaan BPJS Kesehatan dengan kategori Peserta Bebas Iuran (PBI) telah sukses dikeluarkan. Sesuai kesepakatan dengan pemerintah setempat, premi BPJS Kesehatan PBI tersebut dibayarkan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Barat.

Kini, kedua komunitas itu semakin menunjukkan taringnya. Baru-baru ini, aktivis difabel KDLB dan P3D Labuapi berhasil menyelenggarakan diskusi serial tentang hak-hak dasar difabel di delapan titik di tingkat desa. Setidaknya tiga sampai empat desa terlibat dalam diskusi serial tersebut di setiap titiknya. Tanpa asistensi dari PATTIRO, enam aktivis difabel yaitu Khalid, Budi Santoso, dan Jailani dari P3D Labuapi, serta Nurjiah, Siti Jakranah, dan Amirah dari KDLB mengorganisir dan memfasilitasi langsung pelaksanaan diskusi.

Para aktivis difabel tersebut berhasil memfasilitasi diskusi yang dihadiri langsung oleh sejumlah pejabat desa seperti kepala desa dan kepala dusun, tenaga kerja sosial, serta difabel dan keluarganya. Seusai diskusi itu, difabel dan keluarganya mengaku mendapat pengetahuan baru mengenai hak difabel, terutama hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan. Para pejabat desa yang terlibat di dalam diskusi juga berterima kasih kepada para aktivis difabel karena kini mereka mulai memahami para difabel dan kebutuhan mereka.

Kesuksesan pelaksanaan diskusi serial tentang hak-hak dasar difabel itu tidak terlepas dari kesungguhan fasilitator PATTIRO dalam mengedukasi para aktivis difabel tentang pentingnya partisipasi dan kemandirian. Berkat para fasilitator PATTIRO yang secara intensif melibatkan para aktivis difabel dalam berbagai kegiatan pengorganisasian, mereka pun mampu menyelenggarakan diskusi serial secara mandiri. Selain itu, pelaksanaan diskusi berjalan lancar karena para difabel lain dan keluarga yang menjadi partisipan telah memiliki kepercayaan yang cukup tinggi kepada para aktivis KDLB dan P3D Labuapi.

Keberhasilan penyelenggaraan diskusi serial itu diakui oleh para aktivis difabel KDLB dan P3D Labuapi semakin membangkitkan rasa percaya diri mereka. Ini karena, saat ini, mereka telah mampu memfasilitasi sebuah diskusi yang dihadiri oleh banyak pihak. Mereka juga semakin percaya diri karena telah berhasil membuka ruang dialog dengan pemerintah desa setempat mengenai difabel tanpa asistensi dari PATTIRO.

Kedua organisasi difabel yang terbentuk pada Agustus 2015 itu sebenarnya sudah sering terlibat dalam berbagai diskusi dengan pejabat publik. Mereka juga aktif mengikuti kegiatan pembahasan anggaran yang digunakan untuk membayar premi kartu BPJS Kesehatan PBI. Namun, dalam semua kegiatan itu, mereka masih dibantu oleh fasilitator PATTIRO.

Kesuksesan penyelenggaraan diskusi serial tentang hak-hak difabel menunjukkan bahwa para aktivis difabel KDLB dan P3D Labuapi kini mulai mandiri dan semakin berdaya. Kemampuan dan kemandirian mereka juga mulai membuka mata publik dan pemerintah setempat mengenai kinerja dan kemampuan mereka.

Padahal, sebelum terlibat dalam Program Peduli Difabel yang PATTIRO laksanakan, para aktivis difabel selalu mendapat stigma negatif dari masyarakat dan bahkan keluarga mereka sendiri. Budi Santoso adalah salah satu aktivis difabel KDLB yang mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat. Ia pernah ditolak bekerja di salah satu pabrik di Kabupaten Lombok Barat karena keterbatasan fisik yang ia miliki.

Namun, alih-alih merasa minder, Budi justru menjadikan penolakan tersebut sebagai pemacu semangatnya. “Pengalaman buruk seperti itu justru memicu saya untuk mengembangkan diri, agar saya dapat menunjukkan bahwa saya juga memiliki kemampuan yang sama dengan orang lain. Namun, saya selalu bingung harus kemana dan berbuat apa”, ujarnya.

Melihat keberhasilan Budi dan aktivis difabel lainnya, kedua organisasi difabel itu, KDLB dan P3D Labuapi telah berhasil menjadi wadah pengembangan bagi para aktivis difabel di Kecamatan Labuapi dan Kecamatan Lingsar.

*) Penulis adalah PATTIRO Management Information System and Reporting Officer

Scroll to Top
Skip to content