FOINI: Benahi Infrastruktur Transparansi dan Tata Kelola Data untuk Penuhi Hak Untuk Tahu

hak-tahu (1)Sejak Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 disahkan dan diberlakukan pada tahun 2010, Negara menjamin hak masyarakat Indonesia untuk memperoleh informasi. Namun, meskipun sudah enam tahun undang-undang tersebut diterapkan, pemenuhan hak untuk tahu masyarakat masih saja terganjal oleh beberapa hal.

Tepat pada peringatan Hari Hak untuk Tahu Sedunia yang jatuh pada 28 September, Koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) melalui pernyataan tertulisnya menyatakan, ada dua hal utama penyebab terhambatnya pemenuhan hak untuk tahu tersebut.

Berdasarkan data FOINI, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, masih ada sejumlah infrastruktur keterbukaan informasi publik yang belum dibentuk, seperti Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), Prosedur Operasional Standar Pelayanan Informasi, Daftar Informasi Publik (DIP), dan Komisi Informasi.

Hingga Agustus 2016, masih terdapat provinsi yang belum membentuk PPID dan Komisi Informasi. “Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Kalimantan Utara belum memiliki PPID Provinsi. Sedangkan, ada lima provinsi yang belum memiliki Komisi Informasi yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Sulawesi Tenggara.” ujar Koordinator Sekretariat FOINI Desiana Samosir.

Selain itu, penyusunan DIP dan Prosedur Operasional Standar Pelayanan Publik juga masih bermasalah. Padahal, proses penyusunan DIP merupakan fase terpenting, dimana jenis-jenis informasi ditentukan. “Informasi mana saja yang dikecualikan dan informasi mana yang dapat diberikan pada publik ditentukan di dalam proses penyusunan DIP ini. Sayangnya, banyak badan publik yang belum menyusun DIP dan Prosedur Operasional Standar Pelayanan Publik. Mereka selama ini hanya menggugurkan kewajiban yang dimandatkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dengan membentuk PPID,” tegas Desi.

Di sisi lain, persoalan kearsipan juga masih menjadi kendala. Budaya mendokumentasikan arsip dalam bentuk digital belum menjadi budaya. Sehingga sangat bergantung pada dokumentasi/pengarsipan konvensial.

Lebih lanjut, FOINI menilai, masih ada regulasi yang melanggar Undang-Undang Keterbukkan Informasi Publik. Salah satu contoh regulasi tersebut adalah Peraturan Menteri Sekretaris Negara (Permensesneg) Nomor 2 Tahun 2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Klasifikasi Keamanan dan Akses Arsip Kementerian Sekretariat Negara. Peraturan menteri yang terbit pada Februari 2016 itu mengatur petunjuk pengamanan dan akses arsip sesuai dengan klasifikasi informasi arsip yang telah ditetapkan.

Di dalam pertimbangannya, Permensesneg ini menyebutkan Undang-Undang 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Namun demikian, Desi menerangkan, terdapat ketentuan di dalam Permensesneg yang sama sekali tidak diatur dalam undang-undang tersebut. “Permensesneg 2 Tahun 2016 membagi arsip menjadi empat bagian yaitu arsip biasa, terbatas, rahasia, dan sangat rahasia. Pembagian ini tidak dikenal dalam UU Kearsipan yang membagi arsip berdasarkan jenis, keberadaan, frekuensi penggunaan, nilai guna, dan kerahasiaannya. Pembagian arsip dalam UU Kearsipan yaitu arsip dinamis, vital, aktif, inaktif, statis, terjaga, dan umum,” jelas Desi.

Desi menuturkan, pembagian jenis arsip di dalam Permensesneg 2 Tahun 2016 tersebut berpotensi menimbulkan masalah karena arsip yang termasuk klasifikasi biasa dan terbatas pun dapat ditetapkan sebagai arsip dengan klasifikasi rahasia apabila di kemudian hari informasi di dalamnya mengandung resiko strategis sehingga perlu dirahasiakan oleh Menteri Sekretaris Negara. “Padahal, ketentuan ini juga tidak diatur dalam UU Kearsipan yang diklaim sebagai konsiderans Permensesneg ini,” tegas Desi.

Meskipun jika dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan Permensesneg ini memiliki peluang yang besar untuk diuji dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, kekhawatiran bahwa peraturan menteri itu dapat menghambat pelaksanaan keterbukaan informasi publik dan pemenuhan hak untuk tahu masyarakat Indonesia tetap ada.

Untuk menyikapi persoalan-persoalan tersebut, FOINI mendorong pemerintah melakukan beberapa hal. Pertama, pemerintah harus meningkatkan pengawasan dan penguatan infrastruktur transparansi seperti PPID, Komisi Informasi di tingkat pusat dan provinsi, Daftar Informasi Publik, dan Prosedur Operasional Standar Pelayanan Informasi sebagai salah satu upaya pemenuhan amanah Undang-Undang Keterbukaan Informasi. Selain itu, pemerinah juga perlu membuat pusat data terpadu untuk memudahkan akses kelembagaan terhadap data dan akses informasi publik seperti yang dimandatkan di dalam Undang-Undang Kearsipan. Terakhir, pemerintah harus mengimplementasikan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik secara optimal dengan mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksana agar sesuai dengan semangat awal pembentukan undang-undang tersebut.

Scroll to Top
Skip to content