Melalui asas rekognisi dan subsidiaritas, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengusung semangat penguatan Desa sebagai entitas yang mandiri, yaitu suatu entitas yang dapat menyelenggarakan urusannya sendiri tanpa campur tangan berlebih dari pemerintah (supra desa). Dalam mengatur urusannya sendiri itulah Desa diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan Desa yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, yaitu warga desa yang memiliki hak untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut.
Demokrasi yang dimaksud bukanlah demokrasi formal seperti yang dipraktikkan di level negara, dimana partai politik menjadi instrumen utamanya. Demokrasi, di sini, dipahami sebagai suatu praktik yang mengedepankan konsensus dalam setiap pengambilan keputusan, yang melibatkan warga desa baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan. Praktik demokrasi desa sebagaimana dimandatkan oleh Undang-Undang Desa tidak melibatkan partai politik sebagai representasi warga, namun dijalankan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam konteks inilah, maka, pemberdayaan BPD menjadi penting untuk menguatkan demokrasi Desa.