Asia akan Kembali Menjadi Pusat Gravitasi Ekonomi Dunia Laporan dari Konferensi Lembaga Think Tank se-Asia Pasifik di Bangkok

2019KonfThinkTankASPACBangkokPada tahun 2040 mendatang, Asia diperkirakan akan kembali menjadi pusat gravitasi ekonomi dunia. Demikian disampaikan oleh peneliti dari McKinsey, Jeongmin Seong, dalam salah satu sesi pada konferensi tahunan lembaga think tank se-Asia Pasifik yang diselenggarakan di Bangkok pada pertengahan November lalu. Pada tahun 2040, diperkirakan konsumsi Asia mencapai 40 persen dari total konsumsi global, dan Produk Domestik Bruto (PDB) Asia mencapai 52 persen dari PDB global.

Kembalinya gravitasi ekonomi dunia ke Asia itu menurut Seong karena saat ini Asia telah menjadi empat klaster yang masing-masing memiliki keunggulan, dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Keempat klaster tersebut, yang pertama adalah Cina, yang memiliki kemampuan sebagai jangkar dan penggerak jaringan perdagangan di antara negara-negara di Asia. Klaster kedua adalah Advanced Asia, yakni Jepang dan Korea Selatan, sebagai pelopor teknologi dan penyedia modal. Klaster ketiga adalah Emerging Asia, yaitu negara-negara di Asia Tenggara yang secara ekonomi terintegrasi dan memiliki ragam kebudayaan. Dan klaster keempat adalah India dan negara-negara Asia perbatasan, yang secara cepat melakukan lompatan secara ekonomi.

Konferensi ini sendiri diselenggarakan oleh Think Tank and Civil Society Program (TTCSP), sebuah lembaga di bawah The Lauder Institute, Universitas Pensylvania, yang rutin melakukan pemeringkatan lembaga-lembaga think tank di seluruh dunia. Dalam konferensi tersebut, PATTIRO hadir bersama dengan tidak kurang dari 80 lembaga think tank negara-negara di Asia Afrika. Selain itu, hadir juga perwakilan lembaga think tank dari Italia, Kenya, Jerman, Selandia Baru, dan Australia. Direktur TTCSP James McGann mengingatkan tentang peran pentingnya lembaga think tank untuk menghadapi berbagai tantangan yang muncul, seiring dengan menguatnya pertumbuhan ekonomi tersebut. Menurutnya, salah satu tantangan yang akan dihadapi adalah meningkatnya pengangguran yang disebabkan karena pesatnya perkembangan tekonologi yang akan menggantikan tenaga kerja manusia.

Untuk menjawab tantangan ini, para peserta konferensi mendiskusikan pentingnya lembaga think tank untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah, agar menerbitkan kebijakan yang mendorong terjadinya peningkatan kemampuan warganya dalam beradaptasi dengan teknologi. Dengan demikian, teknologi tidak lagi menjadi kompetitor, tetapi dapat dimanfaatkan sebagai pendukung kerja mereka dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu teknologi juga tidak hanya dimanfaatkan oleh masyarakat urban, tetapi juga dapat menjadi nilai guna bagi masyarakat di perdesaan. Sebagaimana disampaikan oleh peserta dari lembaga think tank asal India, National Institute for Advanced Studies, saat ini warga India yang mayoritas tinggal di daerah perdesaan masih belum dapat merasakan manfaat teknologi dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Tantangan lain yang penting untuk disikapi oleh lembaga think tank adalah terkait dengan maraknya aksi terorisme. Secara tidak langsung, aksi terorisme ini akan mengancam demokrasi yang saat ini tengah berkembang di banyak negara di Asia. Aksi-aksi terorisme seringkali disikapi dengan sekuritisasi, yakni penanggulangan terorisme dengan pendekatan militer. Sedangkan sebagaimana dipahami bahwa pendekatan sekuritisasi ini seringkali berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi. Negara seperti Myanmar misalnya, yang saat ini tengah berkembang menuju proses demokratisasi, terpaksa harus menggunakan pendekatan militernya untuk mencegah terjadinya aksi terorisme yang ditengarai akan muncul dari salah satu etnis tertentu. Meskipun diakui bahwa nilai-nilai pluralisme telah berkembang di sebagian besar wilayah di negara tersebut. Persoalan terorisme diharapkan tidak hanya menjadi tanggungjawab salah satu negara saja, tetapi perlu didorong agar pemerintah negara-negara di kawasan memiliki strategi bersama untuk mengatasinya. Sinergi antar pemerintahan negara-negara di kawasan Asia Pasifik tidak hanya terkait dengan terorisme, tetapi juga terkait denga upaya untuk menyelesaiakn berbagai sengketa, seperti perselisihan Laut Cina Selatan, konflik semenjanjung Korea, dan perang dagang Cina dan Amerika.

Selain isu-isu ekonomi, terorisme dan demokrasi, dalam konferensi tersebut juga muncul isu tentang perubahan iklim. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat global kini tengah bergerak bersama untuk merespon fenomena perubahan iklim yang telah memicu terjadinya peningkatan emisi dan pemanasan global. Para peserta konferensi kebanyakan menyoroti pentingnya lembaga think tank memikirkan solusi pengganti energi fosil dengan energi baru terbarukan. Hampir tidak ada peserta yang mengusung isu tentang pentingnya hutan dalam konteks perubahan iklim. Terkait dengan hutan dan isu perubahan iklim, dalam satu sesi konferensi, PATTIRO mengusulkan suatu gerakan dari lembaga think tank untuk mendorong pemerintah negara-negara di Asia Pasifik kerjasama dalam menjaga hutan. Salah satu yang perlu didorong adalah misalnya dengan penanggulangan bersama kebakaran hutan, serta mengupayakan pencegahan alih guna hutan, yang saat ini didominasi oleh perusahaan sawit.(Bejo Untung)

Scroll to Top
Skip to content