Jakarta, Mei 2021.
Koalisi Masyarakat Sipil yang diprakarsai oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budget Center (IBC), dan The Asia Foundation (TAF) mengusung gagasan pengembangan Dana Insentif Daerah DID untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (DID KGPP). Melalui gagasan ini Koalisi mendorong agar indikator gender dimasukkan ke dalam kriteria DID yang ditransfer kepada pemerintah daerah setiap tahunnya. Gagasan ini disampaikan dalam diskusi publik yang diselenggarakan secara online pada 21 April 2021, bertepatan dengan peringatan Hari Kartini.
Dalam sambutan yang disampaikan melalui rekaman video, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Pemberdayaan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan, penyelesaian isu-isu perempuan sangat kompleks dan multi sektoral. Untuk itu diperlukan dukungan dan kerja sama yang baik antar berbagai pemangku kepentingan, termasuk dukungan dari PATTIRO bersama Koalisi Masyarakat Sipil dalam mendorong penggunaan anggaran yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan rakyat terutama dalam peningkatan kualitas hidup perempuan. Menteri juga menyambut baik konsep DID KGPP, yang kemudian ditindaklanjuti dengan menyampaikan surat permohonan kepada Menteri Keuangan untuk memasukkan indikator pembangunan gender pada skema DID untuk tahun anggaran 2022.
Dalam diskusi publik tersebut hadir sebagai narasumber Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Dra. Lenny Nurhayanti Rosalin, M.Sc, Kepala Seksi Alokasi Dana Insentif Daerah Kementerian Keuangan Nanag Garendra Timur, Direktur Pengembangan Produk Unggulan Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Leroy Samy Uguy, Ph.D;, dan Kepala Bidang Pengarusutamaan Gender, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, Dinsosduk PPPA Provinsi Papua Adeltje V.S. Pekade, MM. Selain itu hadir juga perwakilan Koalisi sekaligus Direktur Eksekutif PATTIRO Bejo Untung, menyampaikan secara lengkap gagasan DID KGPP.
Mengawali penjelasan tentang konsep DID KGPP, Bejo menyampakan, kebijakan untuk memberikan insentif fiskal kepada pemerintah daerah dipandang penting karena meskipun selama ini pemerintah daerah telah berupaya untuk mendorong pengarusutamaan gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG), namun belum didukung dengan anggaran yang memadai.
“Sebagai gambaran, pada tahun 2017 belanja daerah untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak sangat kecil, yaitu hanya 0,23% dari total APBD seluruh Indonesia, jumlah ini kemungkinan semakin berkurang pada tahun 2020 dengan adanya kebijakan refocusing anggaran untuk penanggulangan Pandemi Covid-19,” ungkap Bejo.
Bejo juga menjelaskan, meskipun pada tahun 2021 ini pemerintah telah mengalokasikan anggaran kepada pemerintah daerah untuk kegiatan pelayanan perlindungan perempuan dan anak melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) nonfisik, namun jumlahnya masih relatif kecil yaitu hanya 0,01%.
Lebih lanjut Bejo menjelaskan latar belakang konsep DID KGPP ini. Selama ini pemerintah telah memiliki komitmen yang kuat untuk mendorong kesetaraan gender di Indonesia. Komitmen ini antara lain ditandai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan lebih dua dekade lalu. Inpres ini kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Surat Edaran Bersama (SEB) empat Menteri yaitu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2012 tentang Strategi Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG). Berdasarkan kebijakan ini, seluruh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah didorong untuk mengintegrasikan PUG dalam proses perencanaan dan penganggaran mereka. Konsisten dengan komitmen tersebut, PUG juga selalu diintegrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), termasuk pada RPJMN periode 2020-2024.
Di tingkat global, komitmen PUG ditunjukkan dengan keterlibatan pemerintah Indonesia dalam menyepakati Sustainability Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), di mana kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan menjadi salah satu tujuannya. Berbagai komitmen tersebut patut diapresiasi, meskipub upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan masih perlu ditingkatkan lagi. Berbagai indikator menunjukkan masih tingginya kesenjangan gender di Indonesia. Berdasarkan data Global Gap Gender Report (2019), Gender Gap Index (GGI) Indonesia masih menunjukkan nilai yang belum memuaskan. Dalam kurun waktu 13 tahun terakhir (2007-2019), meskipun nilai rata-rata peringkat Indonesia cukup tinggi (85 dari 153 negara), namun pertumbuhannya relatif rendah, yakni hanya 0,5%. Pada tingkat ASEAN, peringkat GGI Indonesia dibanding negara-negara lain juga masih terbilang rendah, yakni berada pada urutan ke-5, di bawah Filipina, Laos, Singapura, dan Thailand.
Indikator lain yang menunjukkan masih adanya kesenjangan gender adalah adanya ketimpangan yang tinggi antara laki-laki dan perempuan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Meskipun nilai IPM terus meningkat dari tahun ke tahun, tetapi tidak diiringi dengan meningkatnya nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan, nilai Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia masih rendah. Rendahnya nilai IPG ini juga masih mendominasi banyak daerah di Indonesia. Berdasarkan data BPS (2019), 19 dari 34 provinsi memiliki nilai IPG di bawah rata-rata nasional. Kondisi yang lebih memprihatinkan terlihat pada pencapaian nilai Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Berdasarkan data tahun 2019, dari 34 provinsi sebagian besar memiliki nilai IDG di bawah rata-rata nasional, hanya lima provinsi yang memiliki nilai IDG di atas rata-rata nasional. Rendahnya nilai IPG dan IDG yang hampir merata di seluruh provinsi ini menunjukkan masih rendahnya upaya pemerintah daerah dalam mendorong terwujudnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Padahal peran daerah ini sangat penting untuk mencapai terwujudnya keberhasilan pembangunan gender di tingkat nasional.
Indikator Gender dalam Skema DID
Meskipun banyak jenis skema dana transfer dari pusat ke daerah, namun Koalisi Masyarakat Sipil mengusulkan skema DID sebagai skema insentif kinerja daerah terkait dengan pembangunan gender.Hal ini didasarkan pada beberapa alasan antara lain: 1) Tujuan DID sebagai insentif sesuai dengan tujuan untuk memberikan insentif kepada daerah terkait dengankinerja pembangunan gender; 2) Memotivasi daerah meningkatkan dan mempertahankan kinerjanya; 3) Alokasi DID meningkat setiap tahunnya; 4) Dalam Perpres 42/2020 telah mengatur pemberian penghargaan berupa DID kepada Pemerintah Daerah; dan 5) Pelembagaan dan regulasi pelaksanaan melalui UU APBN dan PMK Pengelolaan DID.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, dalam skema DID saat ini belum ada kategori dan indikator penilaian kinerja yang mengafirmasi kinerja daerah dalam mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Terkait dengan hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil mengusulkan dua skema reformasi DID-KGPP. Pertama, indikator gender diintegrasikan dalam penilaian kinerja DID yang telah ada pada kategori kinerja bidang Kesehatan Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah, Pelayanan Dasar Pendidikan,, Pelayanan Umum Pemerintahan dan Kesejahteraan Masyarakat. Kedua, mengusulkan indikator baru dalam DID yang mencerminkan kinerja pembangunan gender, yaitu Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG).
Koalisi berharap, dengan diberlakukannya DID-KGPP, akan meningkatkan komitmen pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan KGPP, mengakselerasi pelaksanaan PUG dan PPRG di daerah, mendukung pencapaian indikator KGPP dalam RPJMN 2020-2024. Selain itu, insentif ini juga diharapkan dapat mengurangi kesenjangan gender tanpa membebani Pagu Belanja Kemen PPPA karena sumber dananya dari belanja Transfer ke Daerah, yaitu DID.
Respon Positif Kemen PPPA
Kemen PPPA menyambut baik usulan DID-KGPP, sebagaimana disampaikan langsung oleh Deputi Bidang Kesetaraan Gender Dra. Leny Nurhayanti Rosalin, MSc. Menurut Leny, gagasan DID KGPP sudah diusulkan kepada Kemenkeu melalui surat yang ditandatangani langsung oleh Menteri PPPA.
“Kami sudah menyampaikan surat kepada Menteri Keuangan tertanggal 5 Maret 2021, mengusulkan IPG dan IDG sebagai salah satu kategori kinerja penggunaan alokasi DID tahun 2022. Selain kategori kinerja, kiranya dari Kemenkeu dapat mendukung tambahan IPG dan IDG dan juga beberapa yang sudah disampaikan yang bisa dipertajam karena data dan faktanya ada. Misalnya, APM tersedia sampai kabupaten/kota,” ujar Leny.
Namun demikian, menurut Leny,surat tersebut belum direspon oleh Kemenkeu. Pihaknya berharap Kemenkeu dapat membuka ruang diskusi untuk membahas usulan tersebut. “Kami belum tahu apakah nanti hanya menambahkan KGPP saja atau perlu ada tambahan untuk anak juga, karena dalam RPJMN sudah dimasukan juga terkait anak yaitu Indeks Perlindungan Anak yang komprehensif dan datanya tersedia setiap tahun di provinsi dna kabupaten/kota dalam rangka kesetaraan gender, beberapa pertimbangan sudah disampaikan dalam surat tersebut,” tambah Leny.
Leny juga menyampaikan beberapa alasan Kemen PPPA mendukung gagasan ini. Menurut Leny, dalam dua tahun terakhir, pergerakan IPM antara laki-laki dan perempuan di Indonesia belum signifikan. Tahun 2018 dan 2019 (71.39% dan 71,92%), IPM laki-laki tetap lebih tinggi dibandingkan IPM perempuan. Selain itu, IPG di Indonesia ahun 2018 dan 2019 juga mengalami perubahan tidak terlalu signifikan yaitu dari 90,99% menjadi 91,07%. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan afirmatif untuk menutup kesenjangan gender tersebut.
“Dengan kondisi IPM yang lebih tinggi dibandingkan IPM perempuan, salah satu yang bisa kita lakukan adalah melalui budget policy antara lain gagasan DID KGPP ini,” kata Leny.
Selain IPM, alasan lainnya adalah data pergerakan IDG tahun 2018 dan 2019 mengalami kenaikan cukup tinggi yaitu dari 72,10% menjadi 75,24%, namun provinsi yang di atas rata-rata nasional mengalami penurunan.
“Afirmatif action diperlukan untuk hal ini baik dari policy, afirmasi program, maupun kegiatan. Pada level policy, seperti di Bappenas dapat memasukan dalam dokumen perencanaan nasional dan di Kemenkeu yang fungsinya fiscal policy sangat bagus dan dibutuhkan sehingga masukan kita sangat bagus jika diterima oleh Kemenkeu,” tambah Leny. (FM/BU)