Skema EFT Dinilai Efektif Mendorong Konservasi Lingkungan Hidup di Indonesia

20211027.GLF-SkemaEFT-webJakarta – Skema Ecological Fiscal Transfer (EFT) dinilai cukup berhasil dalam mendorong konservasi lingkungan hidup di banyak daerah di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan oleh beberapa kepala daerah baik yang sudah menerapkan EFT atau pun yang sedang mempertimbangkan dalam Green Leadership Forum (GLF) yang diselenggarakan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) bekerja sama dengan Koalisi Masyarakat Sipil dan didukung oleh The Asia Foundation, Rabu (27/10).

Berdasarkan paparan Gubernur Aceh yang diwakili oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Aceh Bapak A. Hanan, melalui skema Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE), Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh berhasil meningkatkan beberapa hal terkait lingkungan hidup.

Antara lain, peningkatakan tutupan lahan, pengembangan Taman Hutan Raya (Tahura), pencegahan dan pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (karhutla), peningkatan ruang terbuka hijau, pengelolaan sampah, dan sebagainya.

Untuk pengelolaan sampah, Hanan menyampaikan bahwa pihaknya sudah menjalin kerja sama dengan perusahan swasta dan ditangani langsung oleh DLHK Aceh, sehingga bisa lebih optimal.

“Di atas itu semua, kami juga memiliki program Aceh Green, yakni bagaimana mewujudkan lingkungan yang lebih baik dan ramah lingkungan. Dan ini sudah terakomodir dalam RPJM Aceh,” ungkapnya.

Paparan Hanan ini seolah menjawab harapan dari Direktur Eksekutif PATTIRO Bejo Untung.

Dalam sambutannya, Bejo menyampaikan bahwa pihaknya memiliki harapan besar skema EFT bisa diterapkan dan dimanfaatkan dengan baik.

“Harapannya, kita bisa mendiskusikan dan berbagi banyak hal di sini, termasuk membangun komunikasi satu sama lain guna mendorong dan memasifkan implementasi EFT,” kata Bejo dalam forum yang dipandu oleh Valerina Daniel ini.

Tidak berbeda jauh dari Gubernur Aceh, yang diwakili oleh DLHK Aceh, adalah Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin.

Dalam forum yang dihadiri oleh Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Ekonomi dan Pembangunan Hamdani, Diruktur Eksekutif PATTIRO Bejo Untung, dan Deputy Country Representative The Asia Foundation (TAF) Hana A. Satriyo yang diwakili oleh Deputy Director of Environmental Governance TAF Alam Surya Putra ini, Nur Arifin membagikan kisah baik dari Trenggalek terkait Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE)

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek memanfaatkan TAKE sebagai insentif untuk desa yang memiliki komitmen terhadap lingkungan hidup di wilayahnya.

Di atas lebih umum, Pemkab Trenggalek juga memiliki apa itu yang disebut Nur Arifin sebagai Bantuan Keuangan Khusus (BKK).

BKK tersebut, tegas Nur Arifin, terdiri dari tiga model, yakni afirmatif, delegatif, dan insentif.

Model insentif tidak lain merujuk pada dana yang bisa diperebutkan oleh desa-desa di Trenggalek. Desa yang memenuhi 8 (delapan) indikator yang sudah ditetapkan, maka dialah yang berhak mendapatkan insentif tersebut.

“Karena adanya model seperti ini, di desa-desa itu sudah ada Perdes konservasi, ada program zona ekologi esensial, dan sebagainya yang luar biasa dan mendukung terjaganya lingkungan hidup,” jelasnya.

Meski demikian, ia berharap, ke depan Pemprov dan Pemerintah Pusat bisa lebih menjadikan komponen penilaian untuk dana insentif daerah lebih variatif dan bobotnya untuk lingkungan hidup lebih besar.

Anggaran untuk lingkungan hidup masih sangat kecil

Sementara itu, dalam forum yang diprakarsai juga oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau, Indonesia Budget Center (IBC), The Reform Initiatives (TRI), Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), dan Beritabaru.co ini, Luluk Nur Hamidah selaku pewakilan DPR RI sebagai penanggap menyayangkan bahwa di balik semangat para kepala daerah terkait konservasi lingkungan hidup terdapat anggaran yang sangat sedikit.

Menurut Luluk, hingga hari ini porsi anggaran yang dialokasikan untuk konservasi lingkungan hidup masih sangat rendah.

“Hanya 0,9% yang dialokasikan untuk lingkungan hidup. Ini berbeda jauh dari Brazil yang sudah berani menganggarkan 10% dari dana alokasi umum untuk bisa memberikan dukungan kepada daerah yang berbasis ekologi. Dari PBn (Pajak Pertambahan Nilai) itu dikembalikan Kembali kepada daerah-daerah yang memiliki komitmen yang kuat pada upaya-upaya penjagaan lingkungan hidup, pelestarian lingkungan, maupun kinerja lingkungan lainnya.” ungkapnya.

Kerja memperbaiki kualitas lingkungan hidup, lanjut Luluk, sebetulnya adalah kerja untuk menyelamatkan kehidupan itu sendiri dan memastikan generasi yang akan datang bisa mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.

Dari situ, Luluk beranggapan anggaran untuk lingkungan hidup penting untuk mendapatkan perhatian lebih.

Karena itu pula, soal lingkungan hidup siapa pun sudah tidak bisa menawarnya lagi. Tidak juga mengganti, apalagi mempertentangkannya.

“Tidak bisa ya kita mempertentangkan antara lingkungan hidup dan investasi, lingkungan hidup dan pertanian, dan semacamnya. Ini soal masa depan kehidupan kita sendiri,” tegas Luluk.

Forum yang ditayangkan langsung via Kanal Youtube Infopattiro ini, dihadiri oleh Gubernur Aceh yang diwakili oleh Kepala Dinas LHK Aceh A. Hanan, Bupati Nunukan Asmin Laura Hafid, Bupati Maros Andi Syafril Chaidir Syam, Bupati Trenggalek M. Nur Arifin, Bupati Aceh Barat Daya Akmal Ibrahim, Walikota Sabang Nazaruddin, dan banyak kepala daerah lainnya baik yang sudah menerapkan EFT atau pun yang sedang dalam proses mengadopsinya.

Perlu diketahui pula, GLF ke-2 ini mengusung tema “Kebangkitan Nasional dalam Mendorong Transfer Fiskal Berbasis Ekologi di Indonesia”.

YouTube video

Scroll to Top
Skip to content