PATTIRO Selenggarakan Kick-Off Meeting Program VICRA

2021.12.13.PATTIROKickOffMeetingVICRA1

Pemerintah Indonesia telah memperkirakan terjadinya potensi penurunan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebagai dampak dari perubahan iklim. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2019, Indonesia akan mengalami potensi kerugian ekonomi sebesar Rp 115,4 triliun pada tahun 2024 pada empat sektor prioritas, yaitu kelautan dan pesisir, air, pertanian, dan kesehatan. Untuk mengatasi potensi kerugian tersebut, Bappenas telah menerbitkan dokumen Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (KPBI) periode 2020-2045 yang mengarahkan diterapkannya aksi-aksi adaptasi perubahan iklim oleh Kementerian dan Lembaga di daerah-daerah super-prioritas dan prioritas.

Sebagai bagian dari upaya untuk memastikan KPBI diimplementasikan secara inklusif, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) bersama delapan mitra CSO di Sumatera Barat, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, tengah mengembangkan program Voice for Inclusiveness Climate Resilience Actions (VICRA) yang akan diimplementasikan hingga pertengahan 2024 mendatang. Program yang didukung oleh Kedutaan Besar Belanda ini secara khusus akan mengawal implementasi KPBI pada sektor pertanian melalui pelibatan kelompok-kelompok rentan dengan membuka ruang sipil (civic space) secara lebih luas.

Mengawali pelaksanaan Program VICRA, PATTIRO menggelar Kick-Off Meeting bersama mitra CSO pelaksana yaitu Ayo Indonesia, YPPS, KONSEPSI, TRANSFORM, Mitra Bentala, PKBI Sumatera Barat, Bengkel APPeK, dan LP2M pada 23-25 November 2021 di Bali. Dalam sambutan pembukaannya, Direktur Eksekutif PATTIRO Bejo Untung mengatakan, tujuan kegiatan ini adalah untuk menyamakan persepsi dan pemahaman seluruh pelaksana program mengenai desain program, outcome, dan output yang akan dicapai dalam VICRA. “Selain itu, yang lebih penting lagi adalah kita dapat bertukar informasi tentang kondisi perubahan iklim di lokasi program dan berbagai dampak yang ditimbulkannya, serta dapat menentukan bersama strategi yang tepat dalam mengimplementasikan program ini agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan,” ungkap Bejo lebih lanjut.

2021.12.13.PATTIROKickOffMeetingVICRA2

Dalam kegiatan tersebut, hadir secara virtual Kepala Bidang Politik Kedutaan Besar Belanda Mark Hengstman. Dalam sambutannya, Mark menekankan bahwa perubahan iklim merupakan isu nyata yang tengah terjadi dan penangananya membutuhkan aksi yang serius. Strategi yang perlu dilakukan untuk merespon perubahan iklim tidak hanya fokus pada upaya pembatasan emisi, tapi juga perlu adanya adaptasi dan aksi ketahanan iklim. Dalam membangun aksi berketahanan iklim yang kuat, maka perlu mendengar masukan dari para ahlinya, seperti petani dan para stakeholder di sektor pertanian. Mark menaruh harapan besar pada program VICRA dan sangat menantikan rencana strategi serta hasil yang dicapai. Lebih lanjut Mark menegaskan, PATTIRO dan konsorsium harus memastikan bahwa suara-suara dari kelompok masyarakat sipil, termasuk para petani dan kelompok rentan dapat didengar dalam aksi-aksi adaptasi perubahan iklim.

Kick-Off Meeting VICRA juga dihadiri secara virtual oleh Direktur Lingkungan Hidup Bappenas Medrilzam dan Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Kementerian Pertanian Andriko Noto Susanto. Dalam paparannya, Medrilzam menjelaskan bahwa KPBI ini merupakan salah satu bentuk respon Pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim.  Melalui implementasi KPBI diharapkan dapat memangkas potensi kerugian ekonomi nasional hingga Rp 281,9 triliun pada tahun 2024. Sepanjang tahun 2020, KPBI sudah diterapkan melalui 171 aksi di tingkat Kementerian dan Lembaga, yang mampu menurunkan kerugian ekonomi sebesar Rp 44,86 triliun. Medrilzam berharap program VICRA dapat membantu pemerintah pusat dalam mendaratkan KPBI di level tapak.

“Saya berharap betul melalui program VICRA, kegiatan advokasi di sektor pertanian tidak hanya memberi sumbangsih positif bagi petani tetapi juga kepada pemerintah, karena kami (pemerintah) juga ingin mendengar suara petani dalam merespon perubahan iklim,” ungkap Medrilzam.

Sementara itu Andriko merasa optimis, melalui aksi yang terencana dan tepat, dampak perubahan iklim pada sektor pertanian dapat ditekan. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah menurunnya Food Insecurity Experience Scale (FIES) atau tingkat kekhawatiran individu terhadap kerawanan pangan pada tahun 2020 meskipun Indonesia tengah dilanda pandemi COVID-19. Andriko juga menegaskan bahwa apapun yang terjadi pangan tidak boleh bermasalah, termasuk dengan perubahan iklim yang saat ini tengah kita hadapi bersama. Menurutnya, apabila pangan yang berkualitas tidak tercukupi, maka akan sulit untuk menghasilkan sumber daya manusia yang sehat, aktif, dan produktif. Salah satu strategi yang dapat diimplementasikan untuk meningkatkan ketahanan pangan yaitu dengan mengembangkan komoditas berketahanan iklim. Komoditas yang dimaksud tidak hanya memiliki fungsi sebagai pangan, tetapi juga memiliki fungsi ekologi, seperti sagu, sukun, pisang, dan sorgum.

“Apapun yang terjadi kita tidak boleh lapar, karena kalau kita lapar, bencana yang lebih besar akan menimpa kita dan itu artinya peradaban di dunia menjadi terancam,” pungkas Andriko.

Melalui Kick-Off Meeting ini telah dirumuskan rencana kerja program yang akan diimplementasikan oleh mitra CSO di sembilan kapubaten selama 32 bulan ke depan.

Scroll to Top
Skip to content