Semua orang terdampak dan rentan ketika menghadapi bencana akibat perubahan iklim. Namun, distribusi kerentanan pada kelompok rentan menjadi lebih besar dalam bencana. Kelompok rentan meliputi perempuan, lansia, penyandang disabilitas, dan anak-anak. Spesialis Gender Equality and Social Inclusion (GESI) VICRA, Ramadhaniati, menuturkan isu kelompok rentan menjadi penting dalam menghadapi bencana akibat perubahan iklim lantaran dampak perubahan iklim bersifat tidak netral gender lantaranadanya ketidaksetaraan yang sistemik. Selain itu, sumber daya alam di sektor pertanian juga terganggu. Pernyataan ini mencuat pada Diskusi Publik Optimalisasi Kebijakan dan Anggaran Pembangunan Berketahanan Iklim yang Inklusif di Daerah yang dilaksanakan pada 24 November 2022 secara daring.
Ramadhaniati memberikan gambaran terkait masalah ketidaksetaraan gender dalam perubahan iklim. Perempuan mengalami kemalangan yang lebih besar daripada laki-laki, lantaran peran domestik yang selama ini banyak diperankan oleh perempuan. Imbasnya, perempuan lebih bekerja keras dalam penyediaan kebutuhan rumah tangga. Selain itu, perubahan iklim menyebabkan tingginya potensi perkawinan anak dan putus sekolah lantaran rendahnya pendapatan masyarakat akibat kurang atau gagal panen.
Gangguan pada sektor pertanian yang diakibatkan oleh perubahan iklim dapat mempengaruhi sisi Kesehatan masyarakat, utamanya pada kelompok rentan. Perubahan iklim membuat kelompok rentan sangat berpotensi terjangkit penyakit menular seperti demam berdarah, diare, mal nutrisi, dan lain sebagainya. Perubahan Iklim menyebabkan bencana kekeringan dan banjir yang ekstrim. Bencana tersebut dapat memicu penyakit yang dapat menjangkit masyarakat, terutama kelompok rentan.
“Proses perencanaan dan penganggaran pembangunan yang bertujuan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim perlu memperhatikan sisi inklusivitas sehingga kebutuhan kelompok rentan dapat terpenuhi dan mereka tangguh dalam menghadapi perubahan iklim,” ujar Ramadhaniati.
Pelaksana tugas (Plt), Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Sosial dan Budaya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratih Rachmawati, menambahkan pemahaman terkait gender dalam isu kebencanaan akibat perubahan iklim belum tersosialisasi secara luas. Bantuan dalam kebencanaan selama ini juga masih netral gender dan belum responsif terhadap kelompok rentan. Oleh karena itu, data terpilah menjadi hal yang penting dalam pembahasan isu kebencanaan akibat perubahan iklim.
Selain mengakomodasi kesenjangan gender pada adaptasi perubahan iklim, pelibatan kelompok muda juga diperlukan untuk mengakomodasi aspirasi mereka. Suara kelompok muda sangat jarang diakomodasi oleh pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan terkait adaptasi perubahan iklim. Padahal, dampak dari perubahan iklim mempengaruhi kehidupan generasi mendatang sebagai penerus bangsa. Salah satu mitra VICRA, Bengkel APPek, melakukan pengorganisasian kelompok muda melalui Ruang Suara Muda Timor Tengah Selatan dengan mengembangkan jaringan dan melibatkan mereka dalam perencanaan aksi multi pihak. “Kini saatnya kelompok muda ambil bagian dalam menentukan nasibnya pada adaptasi perubahan iklim untuk masa sekarang dan masa depan,” ujar District Coordinator VICRA-Direktur Eksekutif Bengkel APPeK, Vinsensius Bureni.
Selain melibatkan kelompok rentan dalam aksi adaptasi perubahan iklim, pelibatan sektor swasta juga dibutuhkan untuk turut menyukseskan program adaptasi perubahan iklim. Sektor swasta dapat terlibat dalam pendanaan program pemberdayaan masyarakat melalui tanggung jawab sosial perusahaan atau yang akrab disebut sebagai program corporate social responsibility (CSR). “Pada realitanya, anggaran dari pemerintah dalam aksi perubahan iklim masih terbatas. Oleh karena itu, perlu keterlibatan semua pihak, terutama perusahaan untuk bersama-sama menyusun aksi perubahan iklim melalui dana CSR yang dimilikinya,” tutur District Coordinator VICRA, PKBI Sumatera Barat, Suci Kurnia Sari.
Adaptasi perubahan iklim membutuhkan kolaborasi multi pihak. VICRA berupaya untuk menciptakan ruang publik (civic space) dalam mendorong keterlibatan kelompok rentan dan mengadvokasi posisi mereka dalam aksi ketahanan iklim yang berfokus di sektor pertanian. Program Manajer PATTIRO, Agus Salim, mengatakan perubahan iklim akan berdampak pada aspek ekonomi, alam, manusia, dan sosial politik. Keempat aspek ini merupakan aset yang berisiko, bila perubahan iklim terjadi.
Pemerintah daerah telah mengeluarkan kebijakan guna merespon perubahan iklim, termasuk anggaran dalam hal tersebut. Namun, sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan berketahanan iklim belum terbangun. Oleh karena itu, PATTIRO memberikan rekomendasi untuk pemerintah berupa pembinaan dalam tahapan perencanaan dan penganggaran daerah, memperluas pengetahuan tentang perubahan iklim dan strategi adaptasinya, memasukan pengarusutamaan gender dalam pengembangan kajian perubahan iklim, dan memasukkan isu adaptasi perubahan iklim dalam dokumen pembangunan daerah. PATTIRO juga menganjurkan swasta untuk berkolaborasi dengan pemerintah pusat dan daerah dalam aksi ketahanan iklim.