Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di Perhutanan Sosial masih simbolik, artinya kehadirannya ada namun hanya sebatas di daftar hadir. Pada hampir di setiap pertemuan untuk pengambilan keputusan di tingkat tapak, perempuan hanya berperan sebagai sesi konsumsi yang mengatur sajian rapat. Sementara itu, laki-laki akan fokus mengikuti alur pertemuan sampai pengambilan keputusan.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi pada Pelatihan Hak-Hak Perempuan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Responsif Gender dan Berkelanjutan yang diselenggarakan pada 3-6 Oktober 2023 di Hotel The Mirah, Bogor. Kegiatan ini diselenggarakan oleh PATTIRO dan didukung oleh Oak Foundation dan IDRC. Peserta dalam kegiatan ini merupakan anggota Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), Kelompok Tani Hutan (KTH), dan pendamping kelompok Perhutanan Sosial yang terdiri dari 21 orang perempuan dan 4 laki-laki.
Kondisi hutan yang dipengaruhi oleh perubahan iklim turut berdampak secara langsung kepada perempuan. Dalam sambutannya, Direktur Eksekutif PATTIRO, Bejo Untung menjelaskan Perempuan menjadi kelompok yang paling berdampak karena Perempuan harus mengurus urusan domestik, seperti mengurus anak, orang tua yang sudah lanjut usia, dan keluarga dengan disabilitas. Oleh karena itu, pengarusutamaan gender menjadi penting dalam tata kelola Perhutanan Sosial agar kepentingan perempuan dalam pengelolaan hutan dapat diakomodasi dengan baik. Selain itu, pengelolaan alam juga harus berkelanjutan untuk menjamin ketersedian sumber daya alam untuk generasi mendatang.
Menanggapi hal tersebut, Analis Kebijakan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Esti Kurniati memaparkan bahwa Perhutanan Sosial berupaya untuk menghilangkan kesenjangan gender dalam pengelolaan hutan dengan mengakomodasi partisipasi perempuan dalam program tersebut.
Ia juga menambahkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perhutanan Sosial, terdapat tujuh pasal yang secara khusus memberikan kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki untuk turut mengelola hutan melalui Perhutanan Sosial. Sebelumnya, pada Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 hanya terdapat dua pasal yang menyinggung keterlibatan perempuan dalam Perhutanan Sosial.
Namun, pada praktiknya, masih ditemukan isu ketidakadilan gender dalam Perhutanan Sosial yang berakar dari budaya patriarki di wilayah Perhutanan Sosial. Sekretaris Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI), Ika Septya, menayangkan vidio documenter pada pemaparannya yang berlatar di salah satu wilayah Perhutanan Sosial, tepatnya di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Pada vidio itu terlihat beberapa narasumber laki-laki yang memberikan keterangan terkait kondisi Perhutanan Sosial di wilayah tersebut. Namun, hanya ada satu perempuan yang bersedia menjadi narasumber dan direkam untuk vidio dokumenter tersebut lantaran perempuan lainnya tidak berani berbicara di depan umum dengan alasan tidak terbiasa dan sudah merasa menitipkan aspirasi mereka kepada laki-laki.
Ika juga menambahkan bahwa kerja perempuan dalam ranah domestik tidak diperhitungkan dalam sistem ekonomi sehingga kerja perempuan tidak diakui. Padahal, perempuan rata-rata bekerja di ranah domestik sebanyak 15-18 jam per hari. Berdasarkan pengalamannya ketika turut menghadiri undangan permohonan Perhutanan Sosial, laki-laki menjadi kelompok yang dominan datang, meskipun dalam undangan tersebut telah mengundang kelompok perempuan.
Hal ini ditanggapi oleh Pendamping Kelompok Perhutanan Sosial dari Jari Borneo, Hera Yulita. Hera memaparkan bahwa Jari Borneo telah mendampingi kelompok Perhutanan Sosial melalui program SETAPAK di beberapa lokasi di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Ia mengkonfirmasi masih rendahnya kepercayaan diri perempuan dan masih engganya perempuan untuk ikut terlibatr dalam pengelolaan Perhutanan Sosial. Hal ini lantaran masih minimnya pengetahuan kelompok perempuan mengenai isu-isu Perhutanan Sosial dan adanya anggapan bahwa hanya kelompok laki-laki yang sanggup dan mampu mengelola hutan.
Hera menambahkan bahwa adanya sistem kolektif dalam kerja Perhutanan Sosial kerap kali belum dapat mengakomodasi kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. “Ketika menentukan jadwal pertemuan untuk pengambilan keputusan, sering kali berdasarkan kesepakatan pertemuan diadakan pada malam hari. Oleh karena itu perempuan sedikit yang datang karena harus mengurus urusan domestik pada malam hari” tutur Hera.
Selain itu, pada pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan dalam Perhutanan Sosial Luluk Setyaningsih, Dekan Fakultas Universitas Nusa Bangsa (UNB) menuturkan perlunya perhatian pada pengelolaan kawasan, kelembagaan, dan usaha masyarakat. Pendekatan pengelolaan SDA berkelanjutan perlu memperhatikan stabilitas lingkungan, perkembangan ekonomi, dan pengunaan teknologi terkini.
Peserta juga diajak untuk melakukan audiensi ke Biro Perencanaan KLHK. Kehadiran peserta pelatihan disambut baik oleh Kepala Biro Perencanaan KLHK, Apik Karyana. Pada sesi audiensi, peserta menyampaikan kondisi terkini terkait Perhutanan Sosial di daerahnya masing-masing. Peserta juga berkonsultasi terkait solusi legalitas KUPS dan KTH yang belum kunjung diberikan oleh pemerintah daerah terkait di beberapa daerah.
Selain melakukan audiensi, peserta juga melakukan kunjungan ke Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum Ciliwung untuk mempelajari program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Setelah mengunjungi BPDAS Citarum Ciliwung, peserta mengunjungi Balai Persemaian Rumpin untuk mellihat langsung proses penyemaian bibit tumbuhan untuk Program RHL.