Mendorong Penilaian Indikator Output dan Proses Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pada Kebijakan Insentif Fiskal

Setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah terbit, pengaturan insentif yang sebelumnya berada pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 160/PMK.07/2021 tentang Dana Insetif Daerah (DID) tidak berlaku lagi. Peraturan ini kemudian diperbarui PMK 125/PMK.O7/2023 tentang Pengelolaan Insentif Fiskal Tahun Anggaran 2024 untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya.

Hal ini mengemuka pada Diksusi Ahli bertajuk Memperkuat Kinerja Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan dalam Kebijakan Insentif Fiskal pada Rabu (20/03/2024). Diksusi ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terkini mengenai target dan capaian pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan, mengetahui kelebihan dan kelemahan indikator kinerja pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan yang digunakan pemerintah pada PMK 160/PMK.07/2021 dengan PMK 125/PMK.07/2023, dan mendapatkan informasi mengenai indikator kinerja pengelolaan LHK yang mendorong akselerasi target-target pembangunan lingkungan ke depan.

Terdapat perbedaan pada PMK 160/PMK.07/2021 dan PMK 125/PMK.07/2023, khususnya pada bidang ekologi. Pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan yang sebelumnya diberikan kepada daerah merujuk pada kinerja penilaian indikator output—seperti kualitas air, kualitas udara, tutupan lahan, dan pengelolaan sampah—dan indikator proses—yaitu komitmen pemerintah daerah terhadap pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan—menjadi indikator kebijakan yang disebut Nirwasita Tantra. Nirwasita Tantra merupakan penghargaan yang diberikan kepada pemerintah daerah atas inovasinya dalam mengelola lingkungan hidup.

Ramlan Nugraha, Program Manajer PATTIRO dalam paparannya menyatakan perlu mengembalikan peraturan teknis yang sebelumnya ada pada PMK 160/PMK.07/2021 berdasarkan penilaian indikator output dan proses melalui PMK insentif fiskal di tahun selanjutnya untuk mendorong kinerja lingkungan hidup dan kehutanan pada kebijakan insentif fiskal.

Upaya ini merupakan komitmen Pemerintah Indonesia dalam aksi perubahan iklim. Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement, mainstreaming pembangunan berkelanjutan, hingga target terukur dalam pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan. Selain itu, upaya ini juga dalam rangka mensinkronkan kebijakan insentif fiskal dengan target-target nasional, seperti Net Zero Emission pada sektor Forest and Other Land Use (FOLU) atau sektor kehutanan dan lahan pada 2030.

Perlu untuk mengkaji kembali seberapa efektif insentif fiskal yang digunakan dapat berdampak pada daerah penerima insentif tersebut, bahkan jauh lebih luas lagi terhadap target-target pengelolaan lingkungan di nasional. Melalui pemahaman terkait kondisi tersebut harapannya dapat menghasilkan rekomendasi indikator kinerja lingkungan hidup dan kehutanan yang berbasis bukti kepada pemerintah pusat untuk kebijakan insentif fiskal tahun 2025.

Inisiatif ini diapresiasi oleh Dr. Fitri Nurfatriani, Peneliti Ahli Utama dan Koordiantor Fungsi Lingkungan Hidup dan Kehutanan KKSDA, BRIN. Fitri merupakan salak satu aktor yang sebelumnya mendorong indikator lingkungan hidup dan kehutanan melalui pengelolaan sampah dalam pemberian Dana Insentif Daerah kepada pemerintah daerah yang memiliki kinerja baik dalam mengelola sampah didaerahnya.

“Perlu untuk memperluas indikator lingkungan hidup dan kehutanan yang lebih komprehensif. Tidak hanya berfokus pada pengelolaan sampah melainkan juga pada Indeks Kualitas Air (IKA), Indeks Kualitas Udara (IKU), dan Indeks Kualiats Lahan (IKL),” ujar Fitri.

Fitri menyarankan PATTIRO untuk mengusulkan inisiatifnya dalam mendorong kinerja lingkungan hidup dan kehutanan dalam kebijakan insentif fiskal perlu memperhatikan enam aspek. Pertama, variable penilaian LHK yang berpegang pada prinsif dasar pemberian insentif dan syarat indikator. Kedua, adanyaa tranparansi dalam perhitungan alokasi insentif. Ketiga, usulan harus linear dengan usulan kementerian atau lembaga teknis. Keempat, penggunaan insentif harus tepat sasaran. Kelima, penerima insentif adalah unit kerja terkait dan masyarakat. Keenam, Informasi alokasi insentif per kategori kinerja.

Selain itu, Mimi Salmiah, tim penyusun indikator lingkungan hidup dan kehutanan pada dana insentif daerah, BRIN, juga menyaran agar PATTIRO dapat memperhatikan karakteristsik pemangku kepentingan terkait dan sumber daya manusianya. “Saat kami mengusulkan indikator lingkungan hidup dan kehutanan melalui pengeloan sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kesulitan dalam men-supply data ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk perhitungan kinerja yang lengkap dari tahun ke tahun dari Provionsi dan Kabupaten. Pada saat itu, hanya direktorat sampah yang mampu dan memiliki data tersedia untuk penilaian pemberian insentif fiscal” tambah Mimi.

Berita

Berita Lainnya

Newsletter

Scroll to Top
Skip to content