Kabupaten Sumbawa Barat merupakan daerah penghasil tambang dengan potensi sumber daya alam yang besar. Meski demikian, angka kemiskinan di Kabupaten Sumbawa masih cukup tinggi, yakni sebesar 12,95% (BPS, 2023). Pemerintah daerah perlu memiliki strategi dalam penanggulangan kemiskinan yang dilakukan secara holistik dengan melibatkan berbagai pihak. Hal ini karena kemiskinan berkorelasi dengan masalah-masalah sosial lain, seperti stunting, sanitasi yang buruk, akses jalan yang masih kurang memadai, dan lain sebagainya.
Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Bappeda Kabupaten Sumbawa Barat, Hairul Jibril, MM, dalam Diskusi Forum Multipihak Tingkat Kabupaten: Pengembangan Inovasi Program Penanggulangan Kemiskinan dan Mekanisme Pendanaan Penanggulangan Kemiskinan di Tingkat Desa dan Kabupaten pada Kamis (22/02/2024) di Aula Pertemuan Bappeda Kabupaten Sumbawa Barat yang diselenggarakan oleh PATTIRO bekerja sama dengan SOMASI NTB melalui dukungan FORD Foundation dan Kementerian Dalam Negeri.
Banyak program penanggulangan kemiskinan yang sifatnya karitatif. Belum bisa membangun kemandirian warga yang berada pada garis kemiskinan. Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) misalnya, yang berasal dari Dana Desa (DD) merupakan stimulus untuk meringankan beban pengeluaran masyarakat miskin. Idealnya, BLT bukan untuk diberikan secara terus-menerus.
Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah (SUPD) III Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Ditjen Bangda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Chairul Dwi Sapta, SH, M.AP memaparkan terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam strategi penanggulangan kemiskinan, yaitu pengurangan beban pengeluaran masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Perwakilan Dinas Pemberdayaan Pemerintah Desa Kabupaten Sumbawa Barat, Rizky Syaputra, memaparkan beberapa program yang sudah dilakukan oleh Kabupaten Sumbawa Barat dalam menanggulangi kemiskinan ekstrem.
“Pengurangan beban masyarakat salah satunya dilakukan dengan memberikan BLT yang berasal dari Dana Desa dan bantuan sembako dari Alokasi Dana Desa (ADD). Kemudian peningkatan pendapatan masyarakat dilakukan melalui penyelenggaraan kegiatan padat karya di desa yang diikuti oleh kelompok nelayan, kelompok tani, dan lain sebagainya. Kita mengupayakan kegiatan padat karya di desa dilakukan secara swakelola yang memaksimalkan penggunaan material dari desa setempat sehingga perputaran Dana Desa terjadi di dalam desa. Hal ini juga sejalan dengan aspek pemberdayaan masyarakat,” ujar Rizky.
Dalam diskusi ini turut hadir tiga kepala desa dari Desa Tambak Sari, Desa Pasir Putih, dan Desa Manemeng. Masing-masing kepala desa memaparkan program penanggulangan kemiskinan di desanya masing-masing.
Desa Tambak Sari memiliki program penanggulangan kemiskinan berupa pengumpulan data kemiskinan dalam satu data yang senantiasa diperbarui sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Data ini berguna untuk menyalurkan bantuan pangan nasional dari pemerintah pusat. Selain itu, untuk mendukung kegiatan padat karya Desa Tambak Sari memiliki program ketahanan pangan berupa pemberian sarana dan prasarana kepada petani dan nelayan. Sementara itu, Desa Pasir Putih memiliki program penanggulangan kemiskinan berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia. Program ini diwujudkan dalam bentuk pelatihan sumber daya manusia untuk mengembangkan industri pariwisata, kewirausahaan, dan pertanian.
Desa Manemeng memiliki program penanggulangan kemiskinan yang menyasar aspek jaminan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan pendataan masyarakat miskin. Jaminan sosial diberikan kepada penyandang disabilitas dan lansia. Program pemberdayaan masyarakat ditujukan kepada para pemuda yang masiih produktif untuk selanjutnya diberikan peningkatan kapasitas sesuai dengan kebutuhannya. Program pendataan masyarakat bertujuan agar penyaluran bantuan untuk masyarakat dapat tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan.
Dalam diskusi multipihak ini, Tim dari PATTIRO, Fitria, mengenalkan Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan (Sustainable Livelihood Approach/SLA). Pendekatan ini dilakukan untuk menggali potensi desa yang nantinya dapat digunakan untuk mengembangkan inovasi program penanggulangan kemiskinan melalui proses yang partisipatif. Terdapat lima dimensi modal yang perlu diidentifikasi dalam melakukan pendekatan penghidupan berkelanjutan, yaitu modal manusia, modal alam, modal sosial, modal finansial, dan modal fisik.
Fitria juga menceritakan salah satu daerah yang telah menggunakan pendekatan SLA dalam mengembangkan inovasi program penanggulangan kemiskinan di tingkat desa adalah Desa Sukoharjo di Bojonegoro, Jawa TImur. Berdasarkan identifikasi kelima dimensi modal yang telah dilakukan, Desa Sukoharjo menghasilkan strategi penghidupan berkelanjutan berupa:
- Upaya percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan lahan kosong di sekitar aliran Sungai Bengawan Solo; pengembangan Kawasan Agroforestry Desa Sukoharjo; dan pengembangan Desa Wisata;
- Meningkatkan kualitas lingkungan hidup melalui kegiatan konservasi lingkungan untuk menyerap emisi karbon dari aktivitas industry migas dan banjir/abrasi di aliran Sungai Bengawan Solo;
- Membuat kebijakan berupa Peraturan Desa (Perdes) tentang Pelestarian Lingkungan dan Pengembangan Kawasan Agroforestri Desa Sukoharjo dan membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis)-Perempuan Kader Lingkungan.