Di tengah semakin mendesaknya kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan berkelanjutan, pemerintah pusat terus mengembangkan berbagai instrumen pendanaan hijau yang diharapkan dapat mendukung penguatan agenda pembangunan hijau di daerah. Namun, pemerintah daerah memegang peran kunci: sejauh mana kesiapan mereka memanfaatkan skema pendanaan ini?
Isu ini menjadi pembahasan utama dalam Focus Group Discussion (FGD) Perkembangan Pendanaan Hijau di Indonesia: Peluang dan Tantangan yang diselenggarakan PATTIRO dengan dukungan The Asia Foundation pada Kamis (10/07/2025) di Jakarta. FGD ini menyoroti pentingnya memperkuat agenda pembangunan hijau di daerah agar berbagai fasilitas pembiayaan hijau dapat diakses dan dimanfaatkan secara optimal.
Berdasarkan data Ditjen Pembangunan Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, alokasi belanja lingkungan hidup di daerah masih tergolong kecil dan fluktuatif, dengan rata-rata hanya Rp25 triliun per tahun atau sekitar 2,05% dari total belanja daerah sepanjang 2018–2024.
Ramlan Nugraha, Program Manajer PATTIRO, menjelaskan bahwa sebagian besar pemerintah daerah masih sangat bergantung pada dana transfer pemerintah pusat, terutama di tingkat kabupaten. “Ketergantungan ini menunjukkan kerentanan fiskal daerah dan menjadi tantangan serius dalam upaya mobilisasi pendanaan hijau,” ujar Ramlan.
Skema Pendanaan Hijau yang Telah Dikembangkan
Beberapa skema pendanaan hijau telah difasilitasi pemerintah pusat melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI), serta dukungan teknis dari UNDP Indonesia. BPDLH, misalnya, mengelola dana hibah, pinjaman, dan dana abadi untuk mendukung target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), Enhanced NDC (ENDC), dan SDGs.
“Dana BPDLH dapat diakses oleh individu, lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, institusi pendidikan, dan kelompok masyarakat,” jelas Joko Tri Haryanto, Direktur Utama BPDLH.
Salah satu fasilitas BPDLH yang menarik adalah dana bergulir, yang memungkinkan penerima manfaat mendapatkan pinjaman berbunga rendah untuk modal usaha kehutanan, investasi lingkungan, atau usaha produktif lainnya.
Contoh nyatanya adalah Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) di Kabupaten Aceh Tamiang yang memanfaatkan fasilitas ini untuk pengembangan budidaya kepiting soka. Namun, menurut Josi Khatarina, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, masih diperlukan penyesuaian kebijakan agar mekanisme penjaminan lebih fleksibel dan aturan teknis lebih mudah diakses publik. Kelompok masyarakat pun memerlukan pendampingan dalam menyiapkan dokumen pengajuan.
Selain BPDLH, PT SMI melalui platform SDG Indonesia One juga menyediakan skema blended finance berupa hibah, pinjaman, ekuitas, bantuan teknis, peningkatan kapasitas, hingga riset. Faaris Pranawa, Direktur Pembiayaan Publik PT SMI, menyebut fokus pembiayaan 2025 akan mencakup transisi energi, penyediaan air bersih, pengelolaan limbah, persampahan, serta infrastruktur kesehatan. Blended finance ini telah diimplementasikan pada proyek Bus Rapid Transit di Kota Semarang dan proyek lampu jalan di Kota Surakarta.
Peluang lainnya adalah penerbitan obligasi daerah untuk pendanaan hijau. Terkait hal ini, Nila Murti, Head of Financing for Development UNDP Indonesia menuturkan UNDP telah melakukan studi kelayakan (feasibility study) dan mendukung Kementerian Keuangan melalui pengembangan Climate Budget Tagging (CBT) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota melalui program percontohan di beberapa lokasi.
Belajar dari Provinsi Kalimantan Timur
Provinsi Kalimantan Timur menjadi contoh praktik baik pengelolaan pendanaan hijau di tingkat daerah. Sejak 2008, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah memasukkan agenda pembangunan hijau ke dalam RPJMD 2008–2013 dan mendeklarasikan Kaltim Green melalui Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2011. Langkah ini lahir dari kesadaran untuk mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan.
Sejak 2015, Kalimantan Timur terpilih mengimplementasikan Program FCPF–Carbon Fund (REDD+) yang memberi insentif berbasis kinerja untuk pengurangan deforestasi dan degradasi hutan. Sebelum implementasi program pada 2020–2024, pemerintah provinsi bersama berbagai pihak, termasuk KLHK dan Bank Dunia, menyusun dokumen program penurunan emisi (Emission Reduction Program Document/ERPD) dan sistem pendukung REDD+.
Wahyu G. Purboyo, Kepala Bidang Perekonomian dan Sumber Daya Alam Bappeda Provinsi Kalimantan Timur, menjelaskan bahwa program ini berfokus pada lima aspek: perbaikan tata kelola hutan dan lahan; penguatan pembinaan hutan dan lahan; pengurangan deforestasi dan degradasi hutan di area perizinan; pengembangan alternatif penghidupan masyarakat berkelanjutan; serta manajemen dan pemantauan program.
Dengan pengalaman daerah seperti Kalimantan Timur, diharapkan pemerintah daerah lainnya dapat memperkuat agenda pembangunan hijau yang terukur, sehingga beragam fasilitas pendanaan hijau yang telah disiapkan dapat dimanfaatkan secara nyata demi keberlanjutan lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat.