Selama 17 tahun terakhir, Indonesia telah melalui tiga kali uji coba model desentralisasi. Yang pertama adalah memperkuat otonomi daerah percontohan di kabupaten/kota, melalui keluarnya Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1996, yang menyatakan 25 April sebagai Hari Otonomi. Uji coba kedua terjadi sebagai akibat percepatan reformasi tahun 1998, dengan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya ditempatkan di kabupaten/kota setelah keluarnya UU No. 22 dan No. pemerintah nasional. Sidang ketiga melibatkan UU No 32 dan No 33 Tahun 2004, serta Pilkada langsung sejak 2005. Dari sisi kewenangan, merupakan upaya merevisi kelebihan kewenangan (ultra vires).
Jika tidak ada halangan, tahun ini akan ada perubahan terhadap dua undang-undang yang disebutkan terakhir. Titik kritis pertama adalah posisi gubernur, yang digariskan sebagai wakil pemerintah pusat dalam konstitusi, namun telah diikat dengan pasal 18 pasal 18 pemilu demokratis. Kedua, terdapat kecenderungan penguatan kontrol pusat dengan kewenangan yang lebih besar di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Realitas politik di berbagai daerah telah diakui Kemendagri sebagai alasan dilakukannya upaya revisi, meski usia perda tersebut belum mencapai 10 tahun. Bagi sejumlah pemangku kepentingan di daerah, ada dugaan perubahan ini merupakan upaya mengembalikan kekuasaan terpusat secara bertahap.
Memang di satu sisi desentralisasi telah menunjukkan bias negatif terhadap berbagai bentuk korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, birokrasi yang tidak netral, dan berbagai bentuk kecurangan. Selain itu, demokrasi langsung tidak selalu menghasilkan pemimpin daerah yang bebas dari perilaku curang, namun perlu diingat bahwa kecurangan dapat terjadi di sistem manapun, baik terpusat maupun desentralisasi. Dalam konteks tata pemerintahan yang baik, perilaku curang terjadi karena tidak adanya defisiensi etika oleh para elit di tingkat eksekutif dan legislatif, tidak hanya di daerah, tetapi juga di pusat. Hal ini dipermudah dengan minimnya akses masyarakat dalam mengawasi aparatur negara. Mendorong perilaku etis dapat menjadi model untuk struktur elit di pemerintahan dan masyarakat, sementara akses publik yang lebih besar dapat mendorong perubahan lebih cepat dan lebih memastikan pengembangan prioritas sesuai kebutuhan. Desentralisasi menjadi semakin menjembatani tidak hanya menghadirkan pelayanan publik namun juga preferensi.