Data Badan Pusat Statistik menunjukan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan masih berada jauh di bawah laki-laki, dimana TPAK laki-laki sebesar 83,2% dan perempuan hanya sebesar 54,3% (BPS, 2022). Sebagai upaya untuk meningkatkan TPAK perempuan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat melalui Perhutanan Sosial (PS).
Program ini menjadi fokus utama dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, melindungi ekologi, sekaligus mendorong agar penyebaran pembangunan tidak hanya tertuju di kawasan perkotaan, tapi juga mengarah kepada masyarakat yang bermukim di sekitar hutan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah telah menetapkan PS sebagai bagian dari strategi pengentasan kemiskinan. Dari target 12,7 juta ha, realisasi capaian PS per Agustus 2022 telah mencapai 5,03 juta ha melalui 7.650 unit SK dan jumlah penerima manfaat sekitar 1,11 juta kepala keluarga. Capaian PS per skema yaitu Hutan Desa seluas 1,99 juta ha, Hutan Kemasyarakatan seluas 0,9 juta ha, Hutan Tanaman Rakyat seluas 0,35 juta ha, Kemitraan Kehutanan seluas 0,58 juta ha dan indikatif Hutan Adat seluas 1,09 juta ha. Selain mendorong capaian akses kelola hutan sosial, pemerintah juga mendorong pengembangan KUPS. Berdasarkan Renstra KLHK Tahun 2020-2024, target peningkatan jumlah Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) hingga tahun 2024 adalah 11.077 kelompok, dari baseline 6.940 KUPS (2019).
Namun demikian, meski luasan hutan yang sudah dikelola masyarakat melalui skema PS mengalami peningkatan, namun dari sisi penerima manfaat khususnya keterlibatan perempuan dalam KPS masih sangat terbatas. Jumlah partisipasi perempuan dalam PS hanya sebesar 13,8% sedangkan laki-laki 86,82% (2022). Hasil kajian PATTIRO (2021), menunjukan bahwa ada empat isu gender yang mengemuka pada PS, diantaranya yaitu; pengarusutamaan gender yang belum ditekankan dalam proses rekruitmen calon pendamping PS, belum adanya data pilah dalam proses monitoring dan evaluasi, belum dijadikannya isu gender sebagai acuan dalam proses pemetaan kawasan PS serta mekanisme administrasi proses pengajuan izin PS masih sangat bias gender.
Dari sisi regulasi, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial secara eksplisit mengatur adanya kesetaraan gender dalam pengelolaan perhutanan sosial. Beberapa pasal terkait isu gender, diantaranya; Pasal 90 tentang pemegang persetujuan pengelolaan HD, HKm, dan HTR, berhak mendapat perlakuan yang adil atas dasar gender ataupun bentuk lainnya; Pasal 107 ayat 3 disebutkan rencana pengelolaan PS disusun dengan memperhatikan kearifan lokal, potensi hutan, peluang pasar dan aspek pengarusutamaan gender serta mempertimbangkan rencana pengelolaan hutan jangka panjang; Pasal 189 ayat 4 menyebutkan kesetaraan gender menjadi salah satu aspek sosial yang diperhatikan dalam evaluasi kegiatan pengelolaan perhutanan sosial.
Sebagai bagian dari implementasi PermenLHK, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan melalui Direktorat Kemitraan Lingkungan bersama Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM (BP2SDM) KLHK, telah menyusun sembilan modul sebagai bahan bagi para pendamping PS. Selain itu, Direktorat Kemitraan Lingkungan bersama BP2SDM meluncurkan Learning Management System (LMS) sebagai bahan ajar online bagi para pendamping maupun calon pendamping PS. LMS ini memuat berbagai pelatihan kompetensi calon pendamping, tata tertib, panduan serta kebijakan role model dan berbagai seri modul yang bisa diunduh oleh para pendamping PS dan calon pendamping PS. LMS ini memuat berbagai informasi mengenai perhutanan sosial yang responsif gender, sebagai bahan evaluasi serta peningkatan kapasitas para pendamping dan calon pendamping PS.
Guna mengidentifikasi isu gender secara cepat dalam pengelolaan perhutanan sosial, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) didukung oleh The Asia Foundation telah menyusun tool bernama Gender Assessment Tool (GAT) dalam perhutanan sosial. Tool ini berisi daftar pertanyaan kunci untuk mengidentifikasi isu gender dalam setiap kegiatan di pra dan pasca persetujuan PS. Pada pertengahan tahun 2022, GAT telah dilakukan PATTIRO bersama mitra CSO di 5 provinsi yaitu Aceh, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur maupun wawancara stakeholder PS dan temuan GAT kemudian dianalisis ke dalam tiga aspek, yaitu kompetensi perempuan, struktural dan kultural. Aspek kompetensi terkait kapasitas perempuan baik pengetahuan, keterampilan dan sikap; Aspek struktural berkaitan dengan peran dan tanggung jawab pemerintah baik, kebijakan atau regulasi (juklak, Juknis, SOP, template), kelembagaan maupun SDM, sedangkan aspek kultural berkaitan dengan norma, anggapan serta kebiasaan yang ada di masyarakat. Dari temuan dan analisis GAT ini, dirumuskan beberapa rekomendasi untuk mendorong penguatan perhutanan sosial yang responsif gender.