Kecamatan merupakan salah satu perangkat daerah kabupaten/kota yang melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, juga melaksanakan tugas pembantuan. Kecamatan selama ini diatur secara rinci melalui Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Namun setelah disahkannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), belum ada aturan pelaksanaan yang me-ngatur khusus tentang kecamatan.
Secara umum, pembahasan mengenai keca-matan relatif kurang mendapat perhatian. Kecamatan dianggap sebagai unit pemerintahan yang ambigu, menjadi perangkat daerah tapi juga mencakup kewilayahan. Seperti dinyatakan dalam UU 23 Tahun 2014 bahwa daerah kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa (Pasal 2 ayat 2). Keca-matan sendiri adalah bagian wilayah dari daerah kabupaten/kota yang dipimpin oleh camat (Pasal 1 angka 24). Namun, camat sendiri tidak memiliki wewenang layaknya seperti kepala wilayah.
Sempat muncul dorongan agar kecamatan dihapuskan dari rantai pemerintahan di Indonesia (de-layering), karena tugas pokok dan fungsinya kurang konkrit, “hanya” sebatas koordinasi dan pengawasan semata. Keberadaannya juga diang-gap akan memperpanjang rantai birokrasi, atau bahkan dapat “menggerogoti” otonomi lokal di tingkat desa[1].
Upaya membenahi kecamatan sejatinya telah lama dilakukan, salah satunya melalui peningkatan kapasitas dalam penyediaan pelayanan publik, khususnya pelayanan administrasi, melalui PATEN (Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan) yang menjadi agenda Kementerian Dalam Negeri dalam melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan daerah. Hal ini dituangkan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Ta-hun 2010 tentang Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan, yang memandatkan pada akhir tahun 2014 seluruh kecamatan di Indonesia telah mener-apkan PATEN. Namun realitanya, hingga akhir ta-hun 2015 baru 1.000 kecamatan (14,3%) dari total 7.000 kecamatan yang telah menerapkan PATEN, dan di tahun 2016 ditargetkan 3.500 kecamatan (50% dari jumlah total kecamatan) yang memiliki layanan PATEN[2].
Terbitnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) “memaksa” pemerintah untuk memikirkan kembali peran kecamatan, terutama dalam rangka mendorong kemandirian desa, melalui fasilitasi dan peningkatan kapasitas pemerintahan desa. Karena tujuan dibentuknya UU Desa sendiri diantaranya adalah: a) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama; b) membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; c) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; d) memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan e) memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.