Policy paper ini disusun sebagai bagian dari kontribusi PATTIRO dan masyarakat sipil yang peduli pada penyandang disabilitas untuk memberi masukan kepada Pemerintah dalam rangka menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Perhatian kepada penyandang disabilitas ini menjadi sangat penting, karena jumlahnya relatif besar dan menghadapi sejumlah tantangan, antara lain terisolir secara sosial dan menghadapi diskriminasi dalam akses atas kesehatan dan pelayanan lainnya, pendidikan dan pekerjaan.
Secara khusus, policy paper ini membahas tiga isu penting terkait pemenuhan kebutuhan disabilitas, yaitu pendataan, pelayanan publik serta perencanaan dan penganggaran. Pada isu pendataan penyandang disabilitas, masalah yang dihadapi adalah beragamnya hasil pendataan tergantung kepada penyelenggara pendataan dan peruntukannya. Dengan kata lain tidak adanya sistem pendataan tunggal. Selain itu, data yang dihasilkan relatif belum menggambarkan kondisi senyatanya dari penyandang disabilitas dan tidak rinci. Pada sisi lain, ada pula inisiatif pendataan yang telah dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil yang berpeluang untuk dimanfaatkan oleh Kementerian dan BPS. Termasuk didalamnya proses pendataan yang partisipatif dengan melibatkan penyandang disabilitas didalamnya.
Sementara itu pada isu pelayanan publik, masalah yang dihadapi adalah berbagai ketentuan yang mengatur mengenai pelayanan publik bagi penyandang disabilitas tidak dapat diimplementasikan secara maksimal, karena masih dalam tataran prinsip umum, belum secara penuh diturunkan menjadi ketentuan yang lebih teknis. Kurangnya pemahaman mengenai bagaimana melayani penyandang disabilitas juga menjadi permasalahan lainnya. Terutama dengan terbitnya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas) yang mengubah posisi isu disabilitas dari berbasis sosial menjadi berbasis HAM merupakan hal mendasar yang belum banyak dipahami oleh penyelenggara pelayanan publik. Akibatnya adalah pelayanan yang diberikan sebagian besar penyelenggara pelayanan publik belum ramah disabilitas, dalam arti tidak memperhatikan hambatan yang dimiliki penyandang disabilitas dalam berinteraksi dengan penyedia pelayanan. Masalah lainnya terkait pelayanan publik sebagaimana diamanatkan dalam UU Disabilitas adalah relatif rendahnya partisipasi disabilitas dalam penyusunan kebijakan dan pelayanan publik baik sebagai penerima pelayanan maupun sebagai penyedia pelayanan; serta belum dibentuknya Unit Layanan Disabilitas yang merupakan kewajiban dari K/L dan Pemda. Khusus pada pelayanan dasar yaitu pendidikan dan kesehatan, tantangan yang dihadapi adalah tidak optimalnya penyelenggaraan pendidikan inklusi, karena antara lain kurangnya Guru Pendamping Khusus (GPK), tidak masuknya GPK dalam skema penerimaan ASN/PNS guru, dan belum adanya kurikulum khusus sekolah inklusi.
Pada isu perencanaan dan penganggaran, meski RPJMN 2015-2019 telah menyatakan komitmen terkait perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada disabilitas yang tercantum dalam bidang Kesejahteraan Sosial, namun belum menjelaskan strategi dan mekanisme bagaimana perencanaan penganggaran yang berpihak pada disabilitas itu. Juga belum mencantumkan APBDesa sebagai salah satu sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk pemenuhan hak-hak disabilitas. Selama ini penganggaran penyandang disabilitas juga masih menjadi tugas dan fungsi dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tertentu seperti Dinas Sosial/Pemberdayaan Masyarakat.
Selain itu, berbagai Perda Disabilitas yang telah ditetapkan dan diundangkan oleh sekitar 29 Pemda belum mencerminkan perbaikan partisipasi dalam perencanaan dan penganggaran. Salah satunya karena belum dijabarkan secara spesifik tentang hak berpartisipasi dalam perencanaan dan penganggaran, tidak adanya aturan turunan dan tidak dilakukannya monitoring atas penerapan Perda dimaksud.