Policy Brief | Ekstraksi Pengalaman Melaksanakan Kebijakan PPRG di Daerah

I. PENGANTAR

Dalam beberapa tahun terakhir, penerapan kebijakan perencanaan dan penganggaran responsif gender (PPRG) telah menguatkan  implementasi strategi pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan di daerah. Terdapat variasi kemajuan antardaerah dalam melaksanakan   kebijakan  PPRG  untuk mendukung keadilan dan  kesetaraan  gender.

Pengalaman implementasi kebijakan PPRG di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Sulawesi Barat dan daerah lainnya diekstraksikan dalam Policy Brief Seri-2 ini. Ekstraksi Pengalaman Melaksanakan Kebijakan PPRG di Daerah ini menjadi data sekunder dan penguat argumentasi untuk pengajuan opsi perubahan kebijakan PPRG di daerah seperti  tertuang dalam Policy Brief  Seri-1: Opsi Kebijakan Mengakselerasi Pelaksanaan PPRG di Daerah.

II. TAHAPAN KEBIJAKAN  PPRG DI  DAERAH

Proses implementasi kebijakan PPRG di daerah secara umum terbagi dalam  tiga tahap kunci, yaitu:

1.     Tahap Fondasi. Tahap ini menyediakan referensi dan regulasi untuk melaksanakan kebijakan PPRG  di daerah, seperti  Inpres No. 9 Tahun 2000, Permendagri No. 15 Tahun 2008, dan PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Melalui regulasi di tingkat nasional ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) dimandatkan melakukan fungsi  untuk meningkatkan kapasitas para pelaksana kebijakan PPRG di tingkat provinsi. Ketersediaan panduan dan pedoman yang sifatnya generik adalah salah satu modal untuk melakukan peningkatan kapasitas. Fasilitasi atau pelatihan yang dilakukan KPP&PA di provinsi dengan  melibatkan multi-stakeholders adalah awal yang baik untuk menata pelaksanaan kebijakan PPRG. Sebagian dari peserta –meski jumlahnya terbatas– telah mampu menjadi fasilitator dan melakukan advokasi bersama dengan driver kebijakan PPRG di tingkat daerah, baik yang berasal dari Pokja PUG maupun focal point per SKPD. Dari proses peningkatan kapasitas di tingkat provinsi inilah, lahir  individu-individu dari kelompok birokrat yang paham nilai gender untuk akuntabilitas pembangunan dan mereka cenderung reformis, terbuka serta memiliki daya juang tinggi. Ini adalah modal  untuk melakukan advokasi kebijakan PPRG selanjutnya. Pelaksanaan kebijakan PPRG  akan berhasil jika Badan/Biro Pemberdayaan Perempuan juga memiliki daya juang yang tinggi dan paham tupoksinya sebagai fasilitator dan advokator. Mereka perlu melakukan inisiasi dengan modal-modal yang dimiliki seperti di atas untuk membangun tatanan pelaksanaan PPRG.

2.     Tahap Konsolidasi. Setelah meletakkan fondasi, pelaksanaan kebijakan PPRG   memasuki  proses konsolidasi pada tatanan yang sudah berjalan dan beradaptasi dengan kebutuhan spesifik/kontekstual daerah masing-masing. Modal di tahap ini berupa  peluang  yang menjadi komitmen  di level nasional dan daerah mengenai sistem perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja yang biasanya menjadi prioritas pimpinan daerah dan ditetapkan menjadi regulasi. Setelah meningkatkan kapasitas multistakeholders, driver PPRG di daerah kemudian menyusun rencana peningkatan kapasitas mitra-mitranya sesuai kebutuhan. Kata kunci sesuai kebutuhan ini  harus diperhatikan karena kebutuhan di tiap daerah berbeda. Di tahap ini, masyarakat sipil yang sebelumnya memiliki jalur di luar proses teknokratik perencanaan dan penganggaran daerah, mulai terlibat bersama pemerintah yang pada waktu bersamaan  menyediakan ruang-ruang pengayaan  pelaksanaan  kebijakan PPRG. Non Government Organization (NGO) berperan mengisi ruang-ruang kosong terkait  persoalan mendasar, seperti ketersediaan data terpilah, analisis persoalan sektoral yang responsif gender, dan pendampingan ke sektor. Sebelumnya,  peran fasilitator  hanya dilakukan  pemerintah antara lain oleh Pokja PUG, focal point atau Tim Teknis PPRG. Bappeda dan SKPD yang membidangi tugas Pemberdayaan Perempuan adalah  penggerak utama kebijakan PPRG di daerah. Mereka perlu bersama-sama memperbaiki pengembangan kelembagaan terkait fungsi PPRG sesuai siklus pembangunan. Dalam hal ini melibatkan Inspektorat, Biro Keuangan, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan masyarakat sipil. Pengembangan kelembagaan ini termasuk bagian dari  fungsi driver untuk fasilitasi dan advokasi kebijakan PPRG. Misalnya memfasilitasi kebutuhan sektor untuk analisis gender sesuai sektornya dan melakukan pendampingan atas hal itu. Selain itu, memperkuat prasyarat yang belum terpenuhi untuk pengembangan data pembuka wawasan gender, bahan ajar, dan pengembangan sistem pemantauan dan evaluasi kebijakan PPRG.

3.     Tahap Keberlanjutan dan Replikasi. Proses keberlanjutan adalah hal yang penting dalam pelaksanaan kebijakan PPRG di daerah. Menjaga keberlanjutan keberlanjutan kebijakan PPRG adalah dengan mengintegrasikannya dalam sistem manajemen pembangunan daerah, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan, serta evaluasi. Replikasi adalah salah satu indikator keberlanjutan pelaksanaan kebijakan  PPRG. Setelah proses pelaksanaan kebijakan  PPRG berjalan di tingkat provinsi, kemudian  penggerak PPRG  melakukan advokasi ke kabupaten/kota. Mereka melakukan fasilitasi proses yang sama sesuai tahapan yang sebelumnya tersedia. Dokumentasi atas kerja-kerja yang sudah dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan PPRG di daerah menjadi hal penting untuk mamantau pelaksanaannya dan sekaligus mendorong upaya replikasi. Dokumentasi ini bisa menjadi referensi dalam upaya pelaksanaan  kebijakan PPRG.

Tiga tahap kunci implementasi kebijakan PPRG  di daerah tergambar dalam skema berikut:

Tiga tahap kunci implementasi kebijakan PPRG

III.  FAKTOR KUNCI  MENGAKSELERASI  PELAKSANAAN KEBIJAKAN PPRG  DI DAERAH

Dalam melaksanakan  kebijakan PPRG di daerah, dapat  diidentifikasi tiga faktor  kunci untuk mengakselerasinya, yaitu:

1.     Mensinergikan Komitmen Politik, Kapasitas Teknokratis di Birokrasi, dan Peran Masyarakat Sipil

Komitmen politik menjadi variabel yang sangat mempengaruhi dalam mengakselerasi pelaksanaan kebijakan  PPRG  karena mengkonsolidasikan sumber daya, dukungan politik dan finansial.  Pengalaman Provinsi Jawa Tengah menunjukkan kuatnya peran  komitmen politik dalam percepatan pelaksanaan kebijakan PPRG berupa regulasi dan dukungan kelembagaan  bagi percepatan  kebijakan PPRG. Komitmen politik memerlukan dukungan kapasitas teknokratis di tingkat birokrasi dan peran  masyarakat sipil.  Komitmen politik saja  akan berhenti di atas kertas  seperti pengalaman di Provinsi Sulawesi Selatan dalam pelaksanaan Kebijakan PPRG.   Kapasitas dan  dukungan birokrasi diperlukan untuk memunculkan perspektif gender di dokumen perencanaan dan penganggaran  yang operasional dan teknis, yaitu di dokumen Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD). Masyarakat sipil berperan dalam mengakselerasi kebijakan PPRG dengan memantau kinerja pemerintahan  dan menjadi mitra kritis bagi pemerintah. Peran masyarakat sipil sebagai kontrol menuntut  pemerintah bekerja dengan  baik dan akuntabel. Sementara itu,   peran mitra kritis melengkapi  kapasitas internal pemerintah yang memadai untuk menjawab tuntutan publik.

Kotak 1

Peran  Organisasi Masyarakat Sipil

Menguatnya gagasan PPRG  hadir dalam pergeseran konsep negara yang bukan menjadi aktor tunggal penentu kebijakan publik.  Konsep good governance mengasumsikan  negara perlu berbagi ruang dengan elemen masyarakat sipil. Dengan demikian terbuka  saluran  informasi perencanaan dan penganggaran kepada  masyarakat.  Konsep ini juga mengandung makna bahwa  elemen  non negara seperti masyarakat sipil merupakan bagian penting dan memiliki kontribusi dalam pengelolaan  kebijakan publik.

Di beberapa daerah,  masyarakat sipil  berperan mengadvokasi pembentukan kelembagaan  kebijakan PPRG, seperti Pokja PUG, dan focal point PUG. Masyarakat sipil juga  melakukan  pendampingan kepada para perencana di SKPD dan mengembangkan perangkat pendukung berupa alat analisis dan data pilah. Secara historis, keterlibatan  dan peran masyarakat sipil bersifat dinamis.  Awalnya berperan melakukan  pendekatan politik dengan melakukan kontrol terhadap kebijakan  anggaran dan  gencar mempromosikan transparansi dan realokasi anggaran. Saat ini perannya sudah lebih beragam.   Sebagian  meredefinisi peran  menjadi critical engagement atau menguatkan  kapasitas  institusi  pemerintah.

Dalam konteks seperti tadi,  keberadaan  institusi masyarakat sipil berperan memperkuat kelembagaan untuk mempromosikan kebijakan PPRG di daerah.  Masyarakat  sipil menjadi bagian  yang tak terpisahkan dari percepatan  pelaksanaan  kebijakan PPRG di daerah.

2.     Kapasitas yang Kuat dari ­SKPD yang Membidangi Tugas Pemberdayaan Perempuan dan   Kelembagaan  PPRG di Daerah

Pengalaman  daerah menunjukkan  keberhasilan pelaksanaan kebijakan  PPRG dipengaruhi penggalangan dukungan politik dan sosial oleh SKPD yang membidangi tugas Pemberdayaan Perempuan. Oleh karenanya, SKPD yang membidangi ini, harus memiliki otoritas yang jelas, memiliki kapasitas SDM dan finansial yang memadai dalam menyebarluaskan gagasan kebijakan PPRG ke SKPD dan  institusi pemerintah yang lain, serta memastikan  adanya kelembagaan PPRG yang bekerja efektif di daerah.

Kotak 2

Penggerak PPRG di Daerah

Menarik untuk melihat pengalaman  daerah dalam  upaya mendorong kebijakan PPRG.  Pengalaman  Provinsi Jawa Tengah merupakan contoh baik penerapan kebijakan PPRG yang  menunjukkan  bekerjanya driver PPRG yang efektif di daerah.  Hal ini tidak lepas dari  keberadaan  dan peran aktif Bappeda dan SKPD Keuangan yang merupakan lembaga strategis dalam proses perencanaan dan penganggaran di daerah.  Pengalaman Jawa Tengah menunjukkan  bagaimana peran penting Bappeda sebagai aktor kunci proses perencanaan  dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah  (TAPD) –khususnya SKPD Keuangan karena lembaga ini merupakan aktor kunci dalam proses penganggaran.  Secara umum,  advokasi implementasi kebijakan PPRG tidak hanya dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan.

Percepatan penerapan kebijakan PPRG juga tidak lepas dari upaya TAPD yang mengadvokasi gubernur untuk memasukan substansi kebijakan PPRG sebagai nilai acuan regulasi daerah terkait pedoman penyusunan RKA SKPD tiap tahun yang berupa Surat Edaran Gubernur. Perkembangan baik  ini muncul pada 2010.

Selain itu, Bappeda, SKPD Keuangan, dan Badan Pemberdayaan Perempuan melalui Pokja PUG menginisiasi terbentuknya Tim Teknis Anggaran Responsif Gender (ARG) untuk pendampingan penyusunan kebijakan PPRG pada tiap SKPD.  Keberadaan Tim  Teknis ini, sebagaimana dimandatkan Permendagri No.  15 Tahun  2008,  menjadi pilar penting untuk penguatan aspek teknokratis. Tim Teknis melakukan  pendampingan dan juga review atas usulan  anggaran  yang  diajukan  oleh  SKPD.

Hal yang juga penting adalah implementasi kebijakan PPRG bukan hanya berhenti pada proses penyusunan, namun juga perlu memastikan pelaksanaan  anggaran  berkontribusi untuk pengurangan kesenjangan gender di berbagai sektor.  Jawa Tengah dalam hal ini, melakukan  terobosan  dengan menjadikan  inspektorat sebagai bagian dari driver PPRG.

Di beberapa daerah, kapasitas dan peran SKPD yang membidangi tugas Pemberdayaan Perempuan belum kuat.  Hal ini menyebabkan  pelaksanaan kebijakan PPRG tidak berjalan karena tidak menjadi kesadaran dan gerakan  lintas sektor. Dalam  konteks seperti ini,  akan strategis jika penggerak PPRG nasional  menguatkan kapasitas SKPD yang membidangi Pemberdayaan Perempuan sekaligus lembaga driver lainnya (Bappeda, Biro Keuangan dan Inspektorat).  Penguatan ini juga perlu memperhitungkan tingkat pemerintahan  dengan mempertimbangkan  dualisme posisi provinsi –sebagai wakil pusat di daerah dan sebagai otoritas otonom. Faktor lainnya yang perlu diperhitungkan adalah  posisi serta kompleksitas tata kelola di tingkat kabupaten/kota.   Keberhasilan  menggalang dukungan oleh driver PPRG  menjelaskan  kemajuan pelaksanaan kebijakan PPRG di beberapa daerah.

3.      Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerja Mengakselerasi Pelaksanaan Kebijakan  PPRG

Pelaksanaan sistem manajemen berbasis kinerja dalam pembangunan di daerah menjadi momentum penting pelaksanaan kebijakan PPRG.  Dibandingkan dengan sistem anggaran tradisional,  penerapan  manajemen berbasis kinerja memberi peluang karena memungkinkan untuk memasukkan isu gender dalam target pembangunan  dan perumusan indikator kinerja kunci. Peluang   ini juga mencakup di semua  siklus manajemen mulai dari perencanaan hingga evaluasi. Perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja memungkinkan untuk mengevaluasi bagaimanakah  program  pembangunan berkorelasi untuk pengurangan  kesenjangan gender di berbagai sektor dan perbaikan  pelayanan publik yang adil bagi laki-laki dan perempuan.

Kotak 3

Pendampingan dan Penguatan Kapasitas PPRG

Momentum penerapan  anggaran  berbasis kinerja yang memberi peluang besar untuk mengintegrasikan gender dalam  perencanaan dan penganggaran  tidak secara otomatis menjadikan kebijakan PPRG bisa berjalan.  Di tingkat birokrasi, problem utamanya adalah ketiadaan kapasitas teknokratis untuk mengintegrasikan gender dalam  sistem perencanaan dan penganggaran daerah.

Di sini,  strategi pendampingan menemukan  bentuknya. Di beberapa daerah yang telah melaksanakan kebijakan PPRG dengan cukup baik, proses pendampingan  merangsang dan menindaklanjuti komitmen politik yang ada,  dan menjadi tindak-lanjut dari pembentukan focal point gender di setiap SKPD. Focal point sendiri terdiri dari aparatur di tiap SKPD yang telah  memahami konsep gender dan PUG. Daerah-daerah itu adalah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,  Kabupaten Bone, Kabupaten Grobogan, dan   Kabupaten Polewali Mandar.   Namun demikian, untuk menintegrasikan gender ke dalam kebijakan program dan kegiatan di SKPD-nya perlu pendampingan teknokratis yang intensif.  Tim ARG yang telah dibentuk oleh ketua Pokja PUG melakukan pendampingan sebagaimana dilakukan di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY.

Pendampingan  antara lain berupa technical assisstance analisis gender dan  penyusunan Gender Budget Statement (GBS).  Selain itu, dilakukan penguatan skema koordinasi yang intensif untuk memperkuat perspektif dan kemampuan focal point dalam menganalisis isu gender pada tataran makro (indikator–indikator outcome dalam kebijakan dan program) maupun isu gender pada tataran mikro dalam tupoksi SKPD-nya (indikator–indikator output pada program dan kegiatan). Inilah ruang yang terbuka bersamaan dengan penerapan anggaran berbasis kinerja yang berfokus pada pencapaian hasil dari belanja anggaran.

Secara umum,  pemahaman dan kemampuan teknokratis yang semakin meningkat  memudahkan SKPD untuk melakukan penyebarluasan gagasan ARG terhadap orang lain terutama aparat dalam satu SKPD yang sama. Proses pendampingan menjadi jalan  efektif untuk membangun kapasitas ini.

IV.            SIMPULAN

Keberhasilan percepatan pelaksanaan kebijakan PPRG di daerah  sangat ditentukan tiga faktor  kunci,  yaitu :

  1. Mensinergikan Komitmen Politik, Kapasitas Teknokratis di Birokrasi, dan Peran Masyarakat Sipil
  2. Kapasitas ­yang Kuat  dari SKPD yang Membidangi Tugas Pemberdayaan Perempuan dan  Kelembagaan  PPRG di Daerah
  3. Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerja Mengakselerasi Pelaksanaan  Kebijakan PPRG.

Untuk mengunduh policy brief ini, sila klik tautan di bawah ini

Scroll to Top
Skip to content