PATTIRO: Tantangan Pelaksanaan UU KIP Semakin Berat

images (1)Jakarta, 1 Mei 2015 – Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik telah genap berusia 5 tahun pada 30 April 2015. Namun, pencapaian pemerintah dalam pelaksanaan UU KIP masih jauh dari yang selama ini ditargetkan.

Menurut data Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, pada 11 Februari 2015, dari sekitar 694 badan publik, hanya 49.2 persen diantaranya yang telah memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Rendahnya pencapaian ini tidak hanya terjadi di tingkat pemerintah daerah, tetapi juga di tingkat kelembagaan negara. Dari 497 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 234 kabupaten yang telah memiliki PPID atau masih kurang dari 53 persen, sedangkan Lembaga Negara/Lembaga Setingkat Menteri/LNS/LPP baru 33,3 persen yang memiliki PPID. Terlebih, baru 28 persen pemerintah kabupaten/kota yang  memiliki situs yang membuka informasi publik pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diperintahkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 188.52/1797/SC/2012 tahun 2012 tentang transparansi pengelolaan anggaran daerah.

Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Sad Dian Utomo mengatakan seharusnya pemerintah lebih serius lagi dalam menangani isu keterbukaan ini. “Peran PPID dalam mendorong keterbukaan informasi publik sangatlah penting. Pembentukan PPID pada badan publik ini baru tahap awal dari upaya mewujudkan transparansi penyelenggaraan negara. Kalau dalam proses pembentukannya saja masih bermasalah, bagaimana transparansi di pemerintahan dapat terwujud,” ungkap Sad Dian dalam keterangan pers, di Jakarta, 1 Mei 2015.

Padahal, Sad Dian menambahkan, transparansi badan publik bertujuan mengungkit peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, pelaku bisnis dan industri, efisiensi terutama biaya administrasi baik yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholder, partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik secara demokratis, dan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemerintah.

PATTIRO mengkhawatirkan permasalahan implementasi UU KIP di Indonesia akan bertambah dengan turunnya aliran dana desa dari pemerintah pusat ke pemerintah desa. “Dengan diturunkannya dana desa, kesadaran publik akan peran desa sebagai badan publik semakin meningkat. Itu berarti peran desa dalam mengelola dan menyediakan informasi bagi masyarakat juga harus ditingkatkan. Dan itu berarti, pemerintah desa harus menjalankan amanat UU KIP secara baik dan benar,” tutur Sad Dian.

Namun, Sad Dian menjelaskan, pemerintah desa harus hati-hati dalam mengimplementasikan UU KIP di desa. Di satu sisi, UU KIP dibuat untuk melindungi hak setiap warga negara untuk mengetahui dan mendapatkan informasi publik yang diproduksi dan dikelola oleh badan publik, termasuk desa. Tetapi, di sisi lain UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa lebih mengunggulkan asas rekognisi, pengakuan desa dan pranata yang telah berkembang di desa, termasuk tradisi keterbukaan yang ada di desa. Selain itu, UU Desa sendiri juga telah mengatur hak-hak warga desa untuk mendapatkan informasi mengenai pembangunan dan pemerintahan desa mulai dari tahap perencanaan sampai pertanggungjawaban.

Itu berarti sistem pelayanan informasi publik di desa tidak bisa disamakan dengan badan publik selama ini dengan pendirian PPID secara ketat dan standar operasional prosedur (SOP) pelayanan. Sebagai contoh dalam pembuatan daftar informasi publik.  Jika mengacu pada UU KIP, pembuatan daftar informasi publik cukup dilakukan bersama atasan PPID, dalam hal ini kepala desa.  Namun, Sad Dian menyarankan, mekanisme penetapan daftar informasi publik di desa sebaiknya mendayagunakan modal sosial yang sudah ada seperti musyawarah desa.  “Musyawarah desa memang tidak menetapkan daftar informasi publik namun secara sosial menyepakati jenis informasi yang dikecualikan untuk ditetapkan oleh kepala desa,” kata Sad Dian.

Dalam pelaksanaannya, Keterbukaan Informasi Publik di desa tidak boleh bersifat “menjajah” desa. Sistem yang terbangun harus dikawinkan dengan tradisi dan kearifan lokal desa yang positif dalam mendorong keterbukaan informasi publik. Keterbukaan dan transparasi sendiri diharapkan dapat mendongkrak partisipasi masyarakat desa dalam penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan desa sehingga efektif dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Berita

Berita Lainnya

Newsletter

Scroll to Top
Skip to content