Kaki Kanan untuk Makan, Kaki Kiri untuk Mencuci

sri katonRUMAH barak bercat putih dengan teras kecil di bagian depan tampak bia­sanya saja, halamannya bersih sama dengan dua rumah barak di sebelahnya. Sekilas memang tak ada yang berbeda dengan penghuni rumah lainnya. Namun siapa sangka, dibalik bersihnya rumah itu, ditinggali seorang wanita dengan segala keterbatasan fisik.

Untuk menemukan rumahnya tidak gampang, Koran ini sengaja mendatanginya untuk melihat aktifitas wanita yang terlahir cacat tanpa tangan. Sri Katon (31), sudah menunggu saya di depan rumahnya, saat saya masuk di lorong tepat di depan PLN, SP1 Kabupaten Sorong, Rabu (11/11). Siang itu, ia sedang sendiri, anak gadis kecilnya yang masih berumur 1 tahun sedang tidur di dalam kamar. Suaminya, Siswanto sedang bekerja bangunan di kampung sebelah. “Jauh ya mas, susah gak cari rumahnya, ayo masuk dulu,” sapa ramahnya.

Sebelumnya Koran ini memang sudah menaruh janji untuk berbincang panjang lebar soal aktifitas dan rutinitasnya di rumah, selain kesibukannya sebagai aktifis dan Fasilitator di Yayasan Pattiro Sorong. Di rumah barak dengan satu kamar, ia mempersilahkan Koran ini duduk di ruang tamu berukuran 3X3 meter. Mengawali obrolan dengan wanita yang siang itu memakai baju bercorak bunga, terasa akrab. Sesekali ia melepas candaanya untuk menghidupkan Susana.

Sri Katon juga menggunakan kaki kanannya untuk menulis.

Meski terlahir tak sempurna, tanpa kedua tangan tetapi ia mahir memfungsikan kedua kakinya untuk mengurus rumah, termasuk mengurus anak bayi­nya. Untuk memandikan anak, membuatkan susu dan mengen­dongnya pun harus dilakukan dengan kaki. Terharu…itu yang terbatin dalam perasaan, ketika menyimak cerita awal yang sungguh menyentuh nurani.

Sambil berbincang, wanita yang tak ingin dianggap remeh dan menjadikan kekurangan sebagai motifasi tanpa halangan untuk berkarya, melakukan pekerjaan layaknya wanita normal lainnya sebagai ibu rumah tangga ini pun sibuk bermain handphone. Handphone Ipad merk Samsung miliknya diletakan dilantai, dengan kaki kirinya ia pun menjelajah dunia maya, komunikasi yang dibangunnya dengan teman-teman. Kerlingan matanya me­lirik sambil tersenyum saat membuka menatap layar handphone.

“Kalau kaki kiri saya bisa se­per­ti tangan bahkan hingga cuci piring saya lakukan meng­gunakan kaki namun kaki kanan saya gunakan ha­nya untuk makan saja,” kata Sri.

Hidup dengan segala keterbatasan fisik membuatnya harus belajar tegar dan mampu bangkit untuk membuktikan jika ia pun mampu berkarya dan berguna bagi orang lain. Meski semasa kecilnya se­ring mendapat cemoohan dan sejekan dari teman-teman. Wanita yang hanya lulusan SD ini, kerap menangis saat diejek. Sang kakek menjadi tempatnya curhat, wejangan sang kakeklah yang menguatkan semangatnya.

Meski cara menulisnya berbeda, tulisan Sri Katon sangat bagus dan rapi.

“Pada saat umur 12 saya memberanikan diri pergi ke pasar namun orang-orang memandang saya aneh dan saya pun menangis, untung ada se­orang wanita yang menghampiriku dan bertanya kepadaku, mulai saat itu aku tak malu lagi dengan keadaanku,” ceritanya mengenang masa lalu.

Ungkapan syukur tak henti ia alunkan atas anugerah yang diberikanNYA, dari pernikahan dengan Siswanto, ia dikaruniai seorang peri kecil yang kini tumbuh menjadi ba­lita sehat dan pintar. Pernikahan­nya juga merupakan sebuah anugerah terindah yang ia miliki. Pertemuannya dengan sang suami boleh dibilang atas petunjuk Tuhan, karena diawali dengan salah sambung saat hendak menelpon saudaranya. Ia terharu, karena lewat perkenalan itu, Siswanto berniat menyuntingnya sebagai istri. Rasa haru dan bahagia bercampur aduk kala itu, ia tak tahu harus bersyukur seperti apa lagi.

Setelah menikah mereka pun merantau ke Sorong dengan modal hasil penjualan sound system, VCD Player dan Komputer. Pernah tidur di Mushola dan menumpang di rumah keluarga. “Kami sampai di pelabuhan dengan uang Rp 200 ribu, kami pun tidur di mushola, namun keesokan harinya saya bertemu dengan saudara yang telah lama di Sorong dan ikut numpang di rumahnya,” ujarnya sambil menerawang jauh keluar rumah mengingat masa itu.

Kini aktif mengurus Yayasan PATTIRO sebagai aktivis dan fasilitator. Ia memperjuangkan hak-hak kaum disabilitas dan merangkul kaum disabilitas untuk muncul dan tidak malu untuk beraktivitas layaknya orang normal. Ia juga menyampaikan kepada kaum difabel “Jangan jadikan kererbatasan sebagai hambatan karena dibalik keterbatasan pasti ada kelebihan yang Tuhan sisipkan,” harapnya.

Ia berharap kaum disabilitas sepertinya mampu bang­kit dari ketepurukan dan tak merasa tersingkir dalam kesenjangan sehingga mampu hidup seperti orang normal lainnya. Meski tak bisa bekerja seperti orang umumnya, namun wanita gigih dan percaya diri ini mampu membuktikan jika kaum sepertinya mampu berkarya. Dengan keterbatasan yakni tanpa ta­ngan pun ia bisa menyanding suami dan mengurus anaknya dengan baik. Dari kisah perjalanan hidupnya, kita belajar bagaimana menyemangati diri sendiri dan berbuat untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Bekerja keras dan ulet dalam menjalani hidup tanpa mengu­rangi rasa syukur.

Scroll to Top
Skip to content