Diskusi Kesehatan Nasional, Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional Masih Temui Banyak Tantangan

4 (1)Setiap Warga Negara Indonesia berhak memperoleh jaminan kesehatan. Setidaknya itulah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Namun pada praktiknya, hingga saat ini, penerapan peraturan tersebut masih menemui banyak tantangan.

Terkait dengan kepesertaan JKN, Wakil Direktur Trade Union Right Center (TURC) Andriko Otang mengungkapkan, sampai sekarang, masih terjadi tumpang tindih antara data peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). “Tahun 2015 sudah akan berakhir, tapi data tersebut masih saja tumpang tindih. Padahal, dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Nasional disebutkan bahwa data peserta Jamkesda seharusnya sudah terintegrasi dengan data peserta PBI BPJS Kesehatan pada tahun 2016,” ujarnya di acara diskusi nasional tentang kesehatan yang diselenggarakan oleh PATTIRO pada 14 Desember 2015 lalu. Selain masalah pengintegrasian data yang lambat, tambah Andriko, data peserta PBI BPJS Kesehatan belum juga diperbarui dan disesuaikan dengan kondisi terkini. Satu hal lain yang juga menjadi masalah adalah jumlah peserta PBI yang lebih besar dibandingkan dengan peserta yang merupakan pekerja penerima upah. “Ketimpangan ini jugalah yang menjadi salah satu penyebab terus meningkatnya kerugian yang dialami oleh BPJS Kesehatan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Spesialis Pelayanan Publik PATTIRO Rokhmad Munawir menyebutkan, selain masalah kepesertaan, BPJS Kesehatan sebagai pihak yang bertanggung jawab melaksanakan program JKN kurang memberikan sosialisasi kepada masyarakat dan rumah sakit yang menjadi mitranya. Akibatnya, sering terjadi perbedaan persepsi mengenai regulasi antara petugas BPJS Kesehatan dan manajemen rumah sakit. Rokhmad menambahkan, kurangnya sosialisasi tersebut juga berdampak pada rendahnya pemahaman masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka sebagai peserta JKN. “Karena ketidakpahaman itu, masyarakat tidak bisa memanfaatkan kartu JKN secara maksimal. Dan padahal, jika BPJS Kesehatan memberikan pemahaman yang cukup, masyarakat akan mampu mengadvokasi diri mereka sendiri jika menghadapi persoalan terkait penggunaan kartu JKN,” imbuhnya.

Rokhmad menerangkan, pelayanan kesehatan yang diperuntukan bagi para peserta JKN juga masih belum maksimal. Kamar penuh menjadi alasan yang kerap digunakan oleh pihak rumah sakit mitra BPJS Kesehatan untuk menolak pasien JKN. Tak jarang pula rumah sakit memberikan pelayanan yang berbeda dengan non pengguna kartu JKN. “Pasien peserta JKN seperti dianaktirikan oleh rumah sakit. Dalam menangani pasien peserta JKN, mereka lambat. Parahnya, pihak rumah sakit juga masih saja membebankan biaya ini itu kepada pasien,” pungkas Rokhmad.

Sejalan dengan pernyataan Rokhmad, Andriko mengatakan, pelayanan yang disediakan oleh BPJS Kesehatan masih jauh dari standar. “Pelayanan BPJS Kesehatan saja tidak beroperasi 24/7. Bayangkan jika ada warga yang harus mengurus sesuatu di BPJS Kesehatan agar biaya pengobatan dia atau keluarganya dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan,” tuturnya. Pelayanan kesehatan yang masih buruk, terang Andriko, juga disebabkan oleh sikap petugas BPJS Kesehatan yang masih pasif dan penggunaan teknologi informasi yang belum maksimal.

Menurut Andriko, fasilitas kesehatan yang disediakan oleh BPJS Kesehatan juga belum memadai. “Kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana untuk pasien JKN masih rendah. Alat medis yang canggih juga jumlahnya sedikit,” imbuhnya. Andriko menuturkan, masalah mengenai ketersediaan fasilitas kesehatan ini akan sedikit dapat tertangani jika saja jumlah rumah sakit swasta yang berpartisipasi dalam program JKN lebih banyak.

Berbagi Peran
Kepala Bidang Jaminan Kesehatan, Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Widiarti mengatakan, penyelenggaraan JKN merupakan tanggung jawab multi pihak sehingga membutuhkan kemitraan untuk dapat melaksanakannya seperti yang diharapkan. Namun sayangnya, masyarakat sipil menganggap pembagian peran antara pihak-pihak terkait pelaksanaan program JKN mulai dari pemerintah, masyarakat sipil, swasta, hingga universitas belum jelas.

Untuk itu, masyarakat sipil yang tergabung di dalam Koalisi Klaster Kesehatan dalam kegiatan Diskusi Nasional tentang Kesehatan bertajuk Kemitraan antara Pemerintah dan CSO dalam mempercepat pencapaian SDGs di sektor kesehatan membahas pembagian peran multi pihak untuk mendorong perbaikan pelaksanaan program JKN, yang secara tidak langsung juga dapat mempercepat pencapaian target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Pembagian peran itu pun dirumuskan menjadi rekomendasi yang akan disampaikan kepada Kementerian Kesehatan sebagai penanggung jawab sektor.

Kepada pemerintah, masyarakat sipil merekomendasikan agar meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga promosi kesehatan baik tenaga fungsional maupun kader posyandu. Rokhmad mengatakan, kader posyandu yang ada di tingkat desa atau RT harus dimaksimalkan dalam melakukan promosi kesehatan. “Ini berkaitan dengan keterjangkauan kader posyandu. Selain itu, para kader posyandu dapat berbagi pengetahun dengan cara berdialog langsung dengan masyarakat agar penyampaian promosi kesehatan lebih efektif,” ujar Rokhmad.

Masyarakat sipil menilai, pemerintah juga perlu meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan yang disediakan bagi pasien peserta program JKN melalui peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Peningkatan akurasi data peserta PBI JKN juga perlu dilakukan misalnya dengan memanfaatkan program Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) di setiap kecamatan.

Rekomendasi lainnya adalah meningkatkan pemahaman masyarakat tentang JKN yang dapat pemerintah lakukan melalui sosialisasi berkelanjutan. Tidak hanya itu, masyarakat sipil juga berharap pemerintah dapat pula meningkatkan pemahaman petugas pelayanan kesehatan karena berdasarkan temuan di daerah, masih banyak petugas pelayanan kesehatan yang belum mengetahui sistem dan prosedur program JKN. “Agar lebih banyak masyarakat dan petugas kesehatan yang terpapar oleh sosialiasi tersebut, pemerintah dapat menggandeng organisasi masyarakat sipil karena mereka memiliki jaringan di daerah yang lebih luas,” ungkap Rokhmad.

Selain menyampaikan rekomendasi terkait peran pemerintah dalam perbaikan JKN demi mempercepat pencapaian SDGs di sektor kesehatan, peserta Diskusi Nasional tentang Kesehatan juga menyampaikan rekomendasinya terkait peran yang harus diemban oleh para Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Direktur Eksekutif Prakarsa Jawa Timur Madekhan Ali mengatakan, organisasi masyarakat sipil dapat mengambil peran memfasilitasi warga kurang mampu untuk mendapatkan akses ke pendataan bekerja sama dengan TKSK. “Teman-teman TKSK dapat mengoptimalkan kinerjanya terutama dalam pendataan data fasilitas dan validasi pendataan peserta PBI yang benar-benar miskin sehingga tercover oleh skema JKN,” ujarnya.

Madekhan juga berharap OMS dapat mendorong perubahan regulasi sehingga peraturan yang ada lebih berpihak kepada peserta JKN. Selain itu, OMS juga harus berperan dalam memperkuat forum komunikasi peserta JKN, memberikan edukasi tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) kepada masyarakat luas, dan memperbanyak relawan kesehatan untuk pemenuhan hak-hak kesehatan masyarakat.

Madekhan juga menekankan pihak swasta untuk turut berperan memperbaiki program JKN dengan mendukung inovasi di bidang kesehatan. “Tidak hanya pemerintah, namun swasta juga sebaiknya membuat inovasi-inovasi kesehatan, misalnya inovasi yang bisa menunjang sarana dan prasarana fasilitas kesehatan,” terang Madekhan.

Madekhan menambahkan, pihak swasta juga dapat turut serta membantu pemerintah memberikan peningkatan kapasitas kepada petugas pelayanan kesehatan dalam bentuk pelatihan, serta mendaftarkan seluruh karyawannya menjadi peserta JKN sebagai bentuk penerapan Tata Kelola Perusaahaan yang baik/Good Corporate Governance.

Universitas sebagai lembaga akademik juga harus mengambil peran dalam membantu pemerintah memperbaiki pelayanan dan pelaksanaan program JKN. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melakukan berbagai kajian terhadap program JKN dilihat dari sudut pandang akademisi. “Kajian eksternal harus dikembangkan terus menerus untuk upaya yang lebih baik sehingga dapat mengeluarkan rekomendasi penyelenggaraan JKN,” pungkasnya.

Bagi perguruan tinggi yang memiliki program studi di bidang kesehatan, jelas Madekhan, dapat menggunakan program pengabdian masyarakat mahasiswa untuk melakukan upaya promosi kesehatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan partisipasi mereka dalam kepesertaan JKN.

Lebih lanjut, Rokhmad menuturkan, media juga memiliki peran yang tidak kalah penting dalam upaya menyukseskan program JKN. “Peran media hampir sama dengan peran organisasi masyarakat sipil yang telah disebutkan tadi, namun sayangnya jaringan media lebih terbatas dan efektivitasnya pun masih kurang. Jadi itu juga perlu diperluas lagi,” tandas Rokhmad.

Bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, diskusi nasional tentang kesehatan bertajuk Kemitraan Pemerintah dan CSOs Dalam Pencapaian SDGs pada Sektor Kesehatan diselenggarakan oleh Koalisi Klaster Kesehatan yang terdiri dari berbagai Organiasi Masyarakat Sipil baik di tingkat nasional maupun daerah yang berfokus pada isu kesehatan. Para pejabat Kementerian Kesehatan hadir di dalam kegiatan tersebut mewakili pihak pemerintah pusat. Kepala dinas kesehatan beberapa daerah juga turut serta dalam kegiatan diskusi sebagai perwakilan dari pemerintah daerah. Masyarakat sipil, akademisi, dan media juga ikut terlibat di dalam acara tersebut.

Penulis: Sabrina Rizkita  | Penyunting: Ega Rosalina

Scroll to Top
Skip to content