Jakarta, 15 Januari 2016 – Presiden Joko Widodo memerintahkan agar seluruh dana desa yang digelontorkan oleh pemerintah pada tahun 2016 digunakan hanya untuk pembangunan infrastruktur[i]. PATTIRO menilai, perintah presiden tersebut mencederai semangat berdemokrasi di desa. “Keputusan itu menyalahi amanat Undang-Undang Desa yang sesungguhnya telah memberikan ruang demokrasi lebih kepada masyarakat desa dan mendorong terciptanya kemandirian desa. Ini sama artinya pemerintah telah memaksakan kehendaknya kepada desa,” tegas Direktur Eksekutif PATTIRO Sad Dian Utomo.
Menurut Sad Dian, jika perintah tersebut benar dijalankan, pemerintah sama saja telah mematikan fungsi musyawarah desa. Akibatnya, akan banyak aspirasi masyarakat yang terabaikan. “Musyawarah desa adalah arena bagi masyarakat untuk memastikan terakomodirnya kebutuhan-kebutuhan mereka di dalam pembangunan. Karena dana desa hanya boleh digunakan untuk infrastruktur, aspirasi masyarakat yang disampaikan di musyawarah desa terpaksa dibatasi, atau bahkan justru terabaikan. Jika sudah begitu, untuk apa musyawarah desa,” pungkasnya.
Lebih lanjut, Sad Dian mengakui, alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur memang tidak kalah penting. Namun menurutnya, memerintahkan penggunaan 100 persen dana desa hanya untuk infrastruktur merupakan tindakan yang tidak adil dan tidak berorientasi pada kebutuhan desa. “Karena bisa saja desa-desa tertentu lebih memerlukan pemberdayaan ekonomi atau perbaikan pelayanan dasar dibandingkan pembangunan infrastruktur. Kalau dipaksakan, tidak adil namanya,” imbuh Sad Dian.
Sebaiknya, tutur Sad Dian, pemerintah kembali merujuk kepada Peraturan Menteri Desa Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa[ii] yang menyebutkan bahwa dana desa digunakan tidak hanya untuk pembangunan infrastruktur melainkan juga untuk pemenuhan kebutuhan dasar, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Sad Dian mempersilahkan jika pun pemerintah memang ingin memprioritaskan pembangunan infrastruktur di desa. Namun, imbuh Sad Dian, pemerintah harus tetap memberikan pilihan kepada desa. “Silahkan jika pemerintah ingin mengedepankan pembangunan fisik di desa-desa yang memang infrastrukturnya masih lemah. Tapi, tetap berikan opsi kepada desa. Jika mereka tidak butuh lagi membangun infrastruktur, biarkan mereka gunakan dana yang diberikan untuk mengembangkan potensinya yang lain,” jelasnya.
Intinya, kata Sad Dian, pemerintah harus tetap membuka kesempatan kepada desa untuk menentukan kebutuhan mereka sendiri. “Jangan ambil ruang demokrasi yang sudah diberikan undang-undang. Jika memang pemerintah ingin ciptakan desa yang mandiri, biarkan desa tentukan kebutuhan mereka sendiri,” tandas Sad Dian.
[i] Pernyataan tersebut disampaikan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trasmigrasi Marwan Jafar pada acara silaturahmi dengan masyarakat sipil pada 13 Januari 2016 di Kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trasmigrasi, Jakarta.
[ii] Peraturan Menteri Desa Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa dapat dilihat di sini.
Artikel ini dimuat di Aktual.com dengan judul Soal Dana Desa, PATTIRO: Presiden Cederai Demokrasi Desa