Akhir pekan lalu, sejumlah desa di Provinsi Jawa Tengah mengalami bencana banjir dan longsor akibat hujan lebat. Menanggapi kejadian itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah desa yang terdampak bencana dapat menggunakan dana desa tahun 2016 untuk memperbaiki dan membangun kembali infrastruktur desa yang rusak. Menteri Marwan juga mengatakan, pemerintah desa perlu membangun infrastruktur seperti tanggul penahan longsor dan banjir yang lebih kuat serta tertata dengan baik agar bencana alam serupa dapat dihindari.
Meski pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang rusak merupakan hal yang krusial, namun, Direktur Eksekutif PATTIRO Sad Dian Utomo menekankan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) dan pemerintah desa sebaiknya tidak hanya memfokuskan diri pada hal tersebut. Pemerintah juga perlu memikirkan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya bencana di desa. “Pemerintah harus segera mendorong desa-desa di Indonesia yang rawan terhadap bencana untuk mulai membuat perencanaan pencegahan bencana dan upaya adaptasi perubahan iklim. Jadi tidak hanya penanggulangan bencana yang digalakkan,” ujar Sad Dian.
Sebagai langkah awal, menurut Sad Dian, pemerintah desa perlu mengidentifikasi resiko bencana dan dampak-dampak perubahan iklim yang rawan terjadi di wilayahnya. “Karena pencegahan terhadap bencana harus disesuaikan dengan konteks lokal setiap desa, maka penting bagi setiap desa untuk mencari tahu bencana apa yang paling sering menimpa wilayah mereka. Dengan begitu, desa dapat lebih mudah mengetahui hal apa saja yang harus mereka persiapkan untuk mencegah terjadinya bencana,” terang Sad Dian.
Setelah mengidentifikasi, sebut Sad Dian, pemerintah bersama warga dalam musyawarah desa dapat membahas hal-hal apa saja yang akan prioritas dilakukan beserta target pelaksanaannya. “Keterlibatan warga dalam kegiatan perencanaan sangat penting untuk memastikan bahwa rencana mitigasi bencana tersebut terakomodir di dalam perencanaan pembangunan desa,” tuturnya.
Sad Dian menambahkan, rencana pencegahan terhadap bencana tersebut tidak harus selalu dalam bentuk pembangunan infrastruktur. Pemerintah desa yang wilayahnya rawan bencana banjir, longsor, serta kekeringan dapat mengalokasikan dana desa untuk menghijaukan kembali area-area serapan air yang sudah gundul dengan menggalakkan kegiatan menanam pohon. Atau, desa-desa yang rawan bencana juga dapat mengalokasikan dana desanya untuk peningkatan pemahaman masyarakat tentang strategi mengurangi resiko bencana dan adaptasi perubahan iklim, pembuatan peta mitigasi sampai jalur evakuasi warga. Tidak hanya itu, pemerintah desa juga dapat menggunakan dana desa untuk menyosialisasikan pengetahuan tersebut kepada warga dan melakukan simulai bencana.
Lebih lanjut, karena segala perencanaan pembangunan yang pemerintah desa buat harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pemerintah kecamatan, maka Sad Dian menyarankan agar pemerintah pusat memberikan pemahaman dan peningkatan kapasitas terkait adaptasi perubahan iklim dan penanggulangan bencana kepada mereka. “Agar pihak kecamatan tidak asal mencoret perencanaan penanggulangan bencana yang telah desa buat karena menganggap itu bukan termasuk pembangunan infrastruktur, maka pemerintah harus turun tangan dalam menyosialisasikan dan meningkatkan kapasitas mereka dalam adaptasi perubahan iklim dan penanggulangan bencana,” pungkas Sad Dian.
Intinya, Sad Dian menekankan, bencana yang menimpa berbagai desa di Jawa Tengah pada akhir pekan lalu seharusnya bisa mengingatkan pemerintah bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat rawan terhadap bencana. “Seharusnya, setelah adanya Undang-Undang Desa, pemerintah pusat sudah mulai bisa memberikan kewenangan kepada desa dalam hal adaptasi perubahan iklim dan menanggulangi serta mengurangi resiko bencana sesuai dengan kapasitas yang dimiliki,” tandas Sad Dian.