Cari Solusi Atasi Masalah Desa Adat di Indonesia, PATTIRO Selenggarakan Diskusi dengan Para Ahli

Oleh: Karina Sari*

DSC_1175Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) menyelenggarakan sebuah pertemuan dengan para ahli untuk membahas hasil temuan PATTIRO mengenai masalah desa adat dan mencari solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan itu, pada Selasa, 6 September 2016, di Jakarta.  Hadir pada pertemuan itu tim peneliti desa PATTIRO dan beberapa pakar desa adat seperti Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Indonesia Prof. Dr. Robert Lawang dan praktisi desa dari Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria Yando Zakaria.

Penasihat Harian PATTIRO Maya Rostanty yang saat itu berperan sebagai moderator diskusi menjelaskan, melalui pertemuan tersebut, PATTIRO ingin mengajak para akademisi dan praktisi desa adat untuk bekerja sama dalam menciptakan solusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan penataan desa adat sehingga dapat berjalan sesuai dengan yang dimandatkan oleh Undang-Undang Desa.

Maya menambahkan, secara khusus, PATTIRO juga ingin mendapatkan masukan dari para ahli desa adat terkait rancangan rekomendasi yang telah disusun. “PATTIRO ingin tahu apakah draf rekomendasi terkait desa adat yang kami susun itu sudah cukup relevan atau belum. Atau, apakah ada rekomendasi yang perlu kami kurangi, ubah, atau justru tambahkan. Kami juga ingin mendapat masukan dan usulan dari para ahli yang hadir untuk penjabaran dan perumusan tentang perbaikan kebijakan terkait desa adat,” ujarnya.

Lebih lanjut, dalam pertemuan itu, sebelum menjabarkan rekomendasi kebijakan yang telah disusun, Peneliti PATTIRO Indro Laksono menyampaikan hasil temuan masalah di lapangan terkait dengan penataan desa adat. Ia mengatakan, dalam implementasi Undang-Undang Desa, terutama yang terkait dengan desa adat, masih ada sejumlah permasalahan yang ia temui di lapangan. “Di delapan desa adat di Kabupaten Siak, Povinsi Riau, misalnya, masih ada kekosongan regulasi dalam pengubahan status desa menjadi desa adat. Selain itu, belum ada pengawasan dari pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi terkait hal itu. Proses identifikasi yang disederhanakan ke dalam proses-proses administratif belum dapat merepresentasikan kompleksitas dinamika sosial masyarakat,” ungkapnya.

Indro menuturkan, permasalahan-permasalahan serupa bukan tidak mungkin akan dihadapi oleh pemerintah daerah lain yang masyarakatnya juga memiliki rencana untuk membentuk desa adat. Oleh karena itu, PATTIRO mengusulkan agar pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam negeri, segera menyusun dan mengeluarkan peraturan terkait perubahan status dan penataan desa adat.

“Di dalam peraturan itu, setidaknya ada tiga hal yang secara spesifik perlu dicantumkan. Pertama, harus ada ketentuan tentang monitoring dan evaluasi dari pemerintah provinsi atau pemerintah pusat atas proses-proses penetapan desa adat. Selain itu, sebaiknya proses identifikasi desa adat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan melibatkan akademisi atau organisasi masyarakat sipil. Ketentuan terakhir, Kementerian Dalam Negeri harus segera mengeluarkan kode desa bagi desa-desa adat yang sudah ditetapkan dalam Rancangan Peraturan Daerah,” terang Indro.

Menanggapi usulan PATTIRO tersebut, Yando Zakaria menyarankan agar PATTIRO sebaiknya merekomendasikan pembuatan peraturan pemerintah tentang desa adat. Ini karena, menurut Yando, proses perubahan status dan penetapan desa adat di Indonesia masih seperti benang kusut. Jadi, ia mengatakan, sebaiknya, PATTIRO mengusulkan pembuatan peraturan pemerintah tentang desa adat saja, alih-alih peraturan menteri. “Karena, kalau peraturan menteri itu ngomonginnya hal yang sifatnya teknis sedangkan peraturan soal desa adat saja belum ada,” ucap Yando.

Meski begitu, PATTIRO dan para ahli lain yang hadir sepakat bahwa pemerintah pusat perlu melakukan sosialisasi kepada pemerintah daerah dan masyarakat tentang desa adat yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Desa. Hal ini diperlukan untuk mencegah munculnya berbagai tafsir baru dan mengantisipasi adanya kemungkinan aktor-aktor lokal yang memanfaatkan kewenangan untuk kepentingan politis. Para ahli juga sependapat bahwa desa adat dibangun tidak untuk mengembalikan romantisme masa lalu. Desa adat yang dibangun harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan menjunjung tinggi demokrasi melalui musyawarah dan mufakat berdasarkan spesifisitas norma adat setempat.

Diskusi pada pertemuan itu berlangsung sangat menarik. Informasi, pengetahuan, dan pengalaman para ahli yang dibagikan telah membantu memperkaya rekomendasi kebijakan yang PATTIRO susun.

*) Pegiat PATTIRO

Berita

Berita Lainnya

Newsletter

Scroll to Top
Skip to content