Melalui UU No. 6/2014 tentang Desa, desa-desa di Indonesia dibedakan ke dalam dua kategori, yakni desa dan desa adat. Desa adat, sebagaimana desa, didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengaturan lebih rinci mengenai desa adat dalam UU Desa tercantum dalam pasal 96 hingga pasal 111. Ketentuan-ketentuan ini membuat desa adat dapat memiliki sistem pemerintahan berdasarkan susunan asli sistem pemerintahan adat dan peraturan-peraturan yang disesuaikan dengan hukum-hukum adat yang berlaku di desa adat, dengan catatan sebagaimana tercantum dalam pasal 98 ayat 2 yang menyebutkan bahwa desa adat ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota, dan dilakukan dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, serta pemberdayaan masyarakat dan sarana prasarana pendukung. Ketentuan tersebut menjadi jaring pengaman kehidupan demokrasi masyarakat desa karena desa adat yang dibangun seharusnya tidak bertujuan untuk mengembalikan romantisme adat masa lalu, melainkan merekognisi praktek-praktek adat yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Adanya nomenklatur desa adat yang memungkinkan pembentukan desa adat atau pengubahan status desa menjadi desa adat dapat menjadi sebuah opsi strategis dalam pengakuan masyarakat adat di Indonesia. Hal ini disebabkan pemerintahan adat dan hukum-hukum adat tidak lagi dilihat sebagai fakta sosial dan budaya saja, melainkan sebagai fakta politik dan hukum. Pengakuan atas hukum adat sendiri, sebagai dasar pemerintahan desa, terakhir kali diakomodasi oleh pemerintah saat era Pemerintahan Hindia Belanda melalui IGO (Inlandsche Gemeente Ordonantie 1906) dan IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten 1914). Pada era demokrasi terpimpin, pemerintahan desa disebut sebagai daerah otonom tingkat III, dengan mengubah otonomi desa yang bersifat pengakuan menjadi otonomi yang bersifat pemberian. Pada era orde baru, hukum-hukum adat yang berlaku di desa tidak lagi diakui karena desa diadopsi ke dalam pola sentralistik melalui penyeragaman struktur sebagai kepanjangan tangan pemerintah paling bawah.