Lahirnya UU Desa No. 6 tahun 2014 tentang Desa telah memberikan penekanan lebih pada aspek kemandirian, dimana proses pembangunan Desa dilakukan oleh pemerintah Desa dan masyarakat Desa dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri. Keberadaan BUM Desa merupakan salah satu upaya konkret dalam mewujudkan otonomi Desa yang sesuai dengan amanah UU Pemerintah Daerah. Pemerintah Desa dapat mengelola aset dan potensi Desa dengan kreatif, inovatif dan mandiri melalui kepemilikan BUM Desa, sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru di Desa serta memberikan pelayanan yang optimal bagi masyarakat dalam mengakses modal kerja. Dengan demikian, BUM Desa diharapkan perannya untuk mengatasi problem kemiskinan di Desa dan meningkatkan ketersediaan pelayanan dasar di Desa.
Pada tahun 2016, sebagaimana dilansir dalam situs resmi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), jumlah BUM Desa di Indonesia mencapai 12.115 badan usaha. Jumlah tersebut sudah melampaui target pembentukan 5.000 BUM Desa pada tahun 2019. Keberadaan usaha Desa seperti BUM Desa (Badan Usaha Milik Desa) dan lainnya, bukanlah hal yang baru dalam pembangunan aspek ekonomi di Desa. Sejak era orde baru, Desa sudah diarahkan untuk mengelola usaha sendiri, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 21 Undang-Undang Pemerintahan Desa No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, salah satu sumber pendapatan Desa adalah hasil dari usaha Desa yang sah. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga menyatakan bahwa Desa dapat mendirikan badan usaha. Kewenangan ini dipertegas melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa.