Bak pisau bermata dua. Meningkatnya jumlah pengunjung ke kawasan Taman Nasional memang bisa meningkatkan pemasukan bagi kas negara. Namun di sisi lain, fenomena itu juga dikhawatirkan mengancam kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem yang ada di taman nasional. Wacana untuk mendorong balai pengelola taman nasional menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan (PPK) Badan Layanan Umum (BLU) pun kembali mengemuka.
Indonesia memiliki kawasan taman nasional yang cukup luas. Sekitar 59,81% dari seluruh kawasan konservasi, adalah kawasan taman nasional. Ini setara dengan 16,2 juta hektare. Memiliki banyak pesona alam, tak heran jika kawasan taman nasional menjadi magnet bagi wisatawan nusantara (wisnus) maupun wisatawan mancanegara (wisman).
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan adanya kenaikan kunjungan wisatawan ke kawasan konservasi pada periode 2012-2016 dari 4,32 juta orang menjadi 7,29 juta orang. Secara khusus, peningkatan kunjungan secara pesat juga terjadi di taman nasional (TN). Di TN Halimun Salak (TNGHS) jumlah kunjungan tercatat 131.073 orang pada tahun 2016 dan kemudian naik 61.960 orang menjadi 193.033 orang pada tahun 2018. Sementara di TN Bromo Tengger Semeru (TNBTS), kenaikan selama 2016 sampai 2018 rata-rata 185.000 orang per tahun.
Bertambahnya jumlah pengunjung ke kawasan TN yang mengarah kepada wisata masal (mass tourism) berpotensi menimbulkan masalah. Terutama bagi kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem yang ada.
Di sisi lain lain, tingginya kunjungan wisatawan berbanding lurus dengan penerimaan negara bukan pajak yang dihasilkan. Misalnya, di tahun 2017, realisasi PNBP TNBTS mencapai Rp22,1 miliar. Jumlah ini lebih besar 134,82% dibandingkan target yang sebesar Rp16,3 miliar.
Pendapatan taman nasional yang meningkat jelas kabar bagus. Apalagi, sudah bukan rahasia lagi jika anggaran yang disedikan untuk mengelola kawasan konservasi sangat mini. Rata-rata anggaran yang disediakan pemerintah sekitar Rp1,5 triliun/tahun atau setara dengan Rp68.000 atau cuma 5 dolar AS per hektare (ha). Anggaran yang tersedia itu jauh di bawah kebutuhan anggaran per hektare yang sebesar 18,6 dolar AS/tahun.
Direktur Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Maya Rostanty menuturkan, mendorong taman nasional untuk bertransformasi menjadi BLU menjadi opsi yang bisa dipilih untuk merespons situasi tersebut. “Dengan menjadi BLU, maka taman nasional bisa secara kreatif dan inovatif untuk mengelola keuangannya secara langsung dan mandiri untuk mendukung pengelolaan kawasan agar kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya bisa dipertahankan sekaligus menyejahterakan masyarakat sekitar,” katanya di Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Pattiro telah melakukan studi penelitian di tiga taman nasional yaitu TNGHS, TNBTS, dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) tentang kemungkinan mentransformasikan pengelolaan di tiga TN tersebut menjadi BLU. Studi dilakukan sejak awal tahun 2019 dan dipaparkan kepada publik di Jakarta, Rabu (25/9/2019). Studi yang dilakukan dirancang bisa menjadi rekomendasi kebijakan pendanaan TN bisa dilakukan secara berkelanjutan. Hasil studi diharapkan bisa diadopsi dalam rencana strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dari hasil studi, terungkap bahwa ada dukungan kebijakan lewat berbagai peraturan perundang-undangan soal pembentukan BLU di taman nasional. Diantaranya adalah pada Peraturan pemerintah (PP) No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. PP itu memberikan dukungan kepada TN untuk melakukan penataan dan zonasi kawasan untuk selanjutnya dikembangkan sebagai potensi untuk peningkatan kinerja layanan yang merupakan salah satu persyaratan teknis BLU.
Sementara dari sisi pemenuhan persyaratan BLU, secara umum ketiga TN yang dikaji, memiliki modal untuk memenuhi seluruh persyaratan, baik dari aspek substantif, teknis maupun administratif sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No 180 tahun 2016 tentang Penetapan dan Pencabutan Penerapan PPK BLU pada Saturan Kerja Instansi Pemerintah .
Secara substantif ketiga TN tersebut memiliki unit penyedia layanan. Secara teknis, tiga TN tersebut memenuhi sejumlah syarat seperti adanya kinerja keuangan dan kinerja pelayanan umum. Sementara secara administratif, sejumlah persyaratan yang telah dipenuhi ketiga TN tersebut adalah diantaranya adalah adanya laporan pola tata kelola dan laporan keuangan pokok.
Satu syarat administratif yang belum dipenuhi oleh ketiga taman nasional itu adalah adanya standar pelayanan.
Peneliti Pattiro Agus Salim menuturkan, untuk menjalankan peran BLU, struktur organisasi pengelola TN perlu penyempurnaan sesuai dengan fungsinya. “Dalam kerangka BLU, Perlu juga ada satuan pnegawas internal,” katanya.
Dia menuturkan, sesuai fungsinya TN yang bertransformasi menjadi BLU harus bisa menjalankan fungsinya dari aspek ekologis, ekonomi, dan sosial budaya. “Dari sisi pelayanan, yang paling utama misalnya apakah TN tersebut bisa meningkatkan populasi satwa yang ada,” katanya.
Dukungan Kebijakan
Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Asep Sugiharta menuturkan, sejumlah TN memang meraih pendapatan jumlah yang cukup besar. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, seluruh pendapatan tersebut disetor ke kas negara sebagai PNBP. “Dalam praktiknya, ada juga yang menanyakan, ada target (PNBP) tapi tidak berdampak pada pengembalian,” katanya.
Dia menuturkan, terkait pengelolaan pendapatan di TN, beberapa tahun lalu memang ada upaya untuk mendorong TN menerapkan PPK BLU. Namun upaya itu tak berlanjut.
Menurut dia, salah satu ganjalan untuk mendorong penerapan BLU pada TN adalah soal dukungan kebijakan. Sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi), taman nasional tidak punya mandat untuk menjalankan bisnis. Demikian juga peran Diektorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK) yang menjadi instansi pembinanya. “Sesuai Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi, Tupoksi dari TN bukan proses bisnis, melainkan pemanfaatan lestari,” katanya.
Asep mengakui, dibutuhkan solusi terkait pembiayaan TN. Alternatif yang sedang digagas untuk menjawab hal itu adalah mengimplementasikan konsep perimbangan terkait pendapatan yang diperoleh TN. “Kami dapat informasi untuk non tax revenue, bisa dikembalikan 20% untuk penghasil,” katanya.
Berdasarkan informasi tersebut, ujar Asep, dana yang dikembalikan tidak ditujukan untuk membiayai operasional. Melainkan untuk dua tujuan yaitu meningkatkan pelayanan dan untuk sarana dan pra sarana.
Asep menuturkan, apapun yang pola pembiayaan yang bisa diterapkan, yang paling penting adalah bisa mendukung peran taman nasional untuk memberi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan pemanfaatan secara lestrai sumber daya alam dan ekosistemnya.
Pelayanan
Perwakilan Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU Kementerian Keuangan, Bintang, menuturkan untuk menjadi BLU, sebuat satuan kerja perlu diusulkan oleh pimpinan lembaga yang menaunginya. “Kalau TN, berarti harus Menteri,” katanya.
Titik penting yang harus bisa dipenuhi agar sebuah satker bisa disetujui untuk menjadi BLU adalah pelayanan yang diberikan harus menjadi lebih baik. Nantinya, perbaikan pelayanan tersebut akan diuji oleh lembaga pembinanya.
Sementara itu, pakar konservasi keanekaragaman hayati Profesor Hadi S Alikodra mengingatkan soal pentingnya peningkatan kapasitas SDM jika ingin menerapkan BLU pada TN. Peningkatan kapasitas SDM itu tidak hanya terbatas pada pengelola TN, tapi juga untuk masyarakat di sekitarnya. Sugiharto
Sumber: http://agroindonesia.co.id/2019/10/bisakah-taman-nasional-menjadi-blu/