Capaian SDGs Kalimantan Timur pada 2022 masuk dalam indikator baik dalam pilar ekonomi dan lingkungan. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah daerah untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas kawasan hutan dan lahan di Kalimantan Timur. Pernyataan ini mengemuka pada Diskusi Multi Pihak terkait Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang dilaksanakan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) bekerja sama dengan Kawal Borneo Community Foundation (KBCF) pada 23 Agustus 2023 di Hotel Aston Samarinda.
Kepala Bidang Perekonomian dan Sumber Daya Alam Bappeda Kalimanta Timur, Wahyu Gatut Purboyo menjelaskan terdapat beberapa upaya percepatan mempertahankan kualitas berhutan yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu penguatan kapasitas Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), percepatan Perhutanan Sosial, perkebunan berkelanjutan, dan pengelolaan area bernilai konservasi tinggi pada perkebunan. Hal tersebut merupakan bagian dari program RHL di Kalimantan Timur.
Namun, pelaksanaan program RHL perlu untuk mengakomodasi peningkatan ekonomi masyarakat sekitar daerah pelaksanaan program tersebut. “RHL tidak sekadar tentang hutan dan lahan, tetapi juga peningkatan ekonomi masyarakat berkenaan dengan pengelolaan pariwisata, UMKM dan sebagainya,” lanjut Wahyu.
Perlu pendekatan baru yang lebih humanis dalam pengelolaan alam dan memaksimalkan peran stakeholder terkait yang akan memperkaya strategi pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). RHL bukan hanya tentang target luasan lahan, tetapi juga bagaimana mendorong peningkatan ekonomi masyarakat. Untuk memastikan tanaman terpelihara dengan baik di masyarakat, perlu mendorong nilai-nilai yang ada di masyarakat yang sesuai dengan agenda pelaksanaan hutan lestari.
Ramlan Nugraha, Program Manajer PATTIRO, dalam paparannya menyampaikan temuan dari penelitian PATTIRO yang bertajuk Efektivitas Pelaksanaan Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan dalam Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dan Peningkatan Penghidupan Bagi Masyarakat Sekitar Hutan menunjukkan bahwa RHL dengan metode swakelola dipandang lebih efektif dibadingkan dengan metode kontraktual dalam tiga aspek yaitu lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh komitmen pemerintah dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Metodologi penelitian yang digunakan adalah desk study, wawancara, observasi lapangan, serta diskusi terfokus untuk triangulasi data. Observasi di lakukan di enam titik lokasi RHL di Kalimantan Timur, yaitu di Kutai Timur, Balikpapan, dan Berau. Lokasi-lokasi RHL tersebut memiliki metode pelaksanaan dan sumber pendanan yang berbeda. Terdapat dua metode pelaksanaan, yaitu metode kontraktual dan swakelola dengan sumber pembiayaan dari APBN, APBD, dan perusahaan pemegang izin.
Hal ini dikonfirmasi oleh Kapala Bidang Pengendalian Daerah Aliran Sungai (PDAS) dan RHL Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur, Subiyantoro, yang mengeluhkan bahwa pada 2021-2022 terjadi penurunan realisasi dana RHL Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH DR) karena terkendala aturan. “Prospek RHL dengan skema swakelola ada pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK), ketahanan pangan, energi terbarukan, dan wisata”, ujar Subiyantoro.
Beberapa upaya perbaikan dalam pelaksanaan RHL telah dilakukan oleh pemerintah, misalnya penguatan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) 2021 dalam mendorong keterlibatan aktif masyarakat, pemberian insentif bagi kelompok masyarakat, dan keterbukaan informasi mengenai data RHL.
Rustman, akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman yang sering kali melakukan kajian seputar program RHL menegaskan dalam program RHL, anggaran terserap di akhir tahun, sehingga pelaksanaan tidak maksimal. Hambatan pelaksanaan RHL yang kerap kali dihadapi, yaitu kesulitan dalam mengakses data, program tidak terintegrasi dengan rencana pembangunan di daerah, terdapat area RHL yang tidak tepat sasaran (bukan lahan kritis), minim evaluasi program, dan area reklamasi tambang masuk dalam data program ini.
Rustman juga menambahkan bahwa kegiatan RHL yang selama ini dilakukan dengan pendekatan keproyekan dan terbukti gagal pada prosesnya tidak pernah dilakukan evaluasi untuk kegiatan tersebut sejak program ini dicetuskan oleh instansi terkait. Kegiatan RHL dengan system keproyekan ini terus dijalankan hingga saat ini. Penentuan lokasi masih mengutamakan aksesibilitas dan ada kesan tidak memperhatikan peta lahan kritis.