Secara umum kawasan hutan Indonesia selain sebagai kawasan konservasi juga sebagai sumber penghidupan masyarakat di sekitarnya. Survei BPS tahun 2014 menyebutkan jumlah penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan berjumlah sekitar 32.447.851 jiwa.
Adapun persentase desa di dalam hutan sebanyak 2,48% atau sekitar 2.037 desa, dan di sekitar hutan sebanyak 23,42% atau sebesar 19.247 desa, sementara sisanya 74,10% merupakan desa diluar hutan atau sebanyak 53.547 dari jumlah total 74.754 desa di tahun 2014. Penduduk di sekitar hutan bergantung pada pemungutan hasil hutan sebesar 63,95 persen, dan kegiatan usaha kehutanan utama yang paling banyak dilakukan adalah budidaya tanaman kehutanan, yaitu sebesar 25,81 persen.
Dari luasan kawasan konservasi di Indonesia hampir 59,81% atau 16.232.132,17 ha merupakan kawasan 54 Taman Nasional (TN). Pengelola kawasan konservasi menghadapi berbagai persoalan yang kompleks dan beragam. Habitat alami mengalami kerusakan dan degradasi dalam skala besar, terutama karena illegal logging dan praktik penggunaan lahan yang tidak tepat. Tantangan lainnya adalah perkembangan penduduk, pembalakan hutan, kebakaran, serta konflik dengan masyarakat. Sebagaimana data di atas, masyarakat yang hidup di sekitaran hutan hampir seluruhnya bergantung pada pemungutan hasil hutan, dan mereka merupakan salah satu kelompok miskin atau sebesar 10,2 juta orang di tahun 2016.
Di sisi lain, terdapat fenomena meningkatnya minat masyarakat untuk melakukan wisata alam. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, terjadi kenaikan kunjungan 2012-2016 ke kawasan konservasi dari 4,32 juta orang menjadi 7,29 juta orang, atau rata-rata pertahun mencapai 5,3 juta orang. Di tahun 2013 saja total pengunjung Taman Nasional mencapai 1,9 juta terdiri dari 1,7 juta dalam negeri dan 200 ribu pengunjung dari luar negeri. Misalnya saja di TN Halimun Salak (TN-GHS), tahun 2016 jumlah kunjungan sebesar 131.073 orang, dan di tahun 2018 sebesar 193.033 orang, terjadi kenaikan jumlah kunjungan 61.960 orang dalam dua tahun. Sementara di TN Bromo Tengger, kenaikan selama 2016 sampai 2018 rata-rata 185.000 orang per tahun. Tingginya minat masyarakat ini merupakan peluang untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun, jika tidak dikelola dengan baik dapat menjadi ancaman dalam bentuk mass tourism (wisata massal) yang justru berdampak negatif terhadap kelestarian Taman Nasional.
Peningkatan jumlah wisatawan merupakan salah satu indikator kinerja TN sebagai bagian dari Rencana Strategis Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) tahun 2015-2019 yang telah menargetkan jumlah kunjungan wisata ke kawasan konservasi sebesar 250 ribu orang wisatawan mancanegara, dan sebanyak 4 juta orang wisatawan nusantara. Dalam rancangan RPJMN 2020-2024, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara di targetkan 18,5 juta orang pada tahun 2020, dan 2024 ditargetkan 26 juta orang. Sedangkan target wisatawan nusantara adalah 310 juta perjalanan di tahun 2020 dan 350 juta - 400 juta perjalanan di tahun 2024. Dengan demikian, potensi mass tourism bisa meningkat di lima tahun mendatang jika tidak dilakukan terobosan dalam pengelolaan Taman Nasional.
Dari sisi internal, pengelolaan TN menghadapi tantangan dalam mengoptimalkan peran dan fungsi TN sebagai kawasan konservasi, salah satunya adalah keterbatasan anggaran. Kebutuhan pendanaan konservasi diperkirakan sebesar USD 18,6/ha per tahun pada periode 2010-2020. Sementara dari luas kawasan konservasi sekitar 39 juta hektar, rata-rata anggaran yang diperoleh saat ini USD 5,1/ ha pertahun (acuan 1999). Sehingga terdapat kesenjangan anggaran sebesar USD 13,5/ha pertahun (Jefferson, 2014 dalam Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP, 2015-2020).
Inisiasi untuk memperkuat arah pengelolaan TN di Indonesia, sudah dimulai sejak tahun 2006 oleh Kementerian Kehutanan melalui model TN Mandiri. Inisiasi ini dilanjut dengan memasukkan 12 TN untuk berstatus Badan Layanan Umum (BLU) dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan 2010-2014. Upaya menyiapkan persyaratan BLU telah dilakukan, namun kondisinya tidak berjalan dengan baik, karena adanya moratorium yang dilakukan Kementerian Keuangan tahun 2013, moratorium dilakukan karena Kementerian Keuangan perlu melakukan perbaikan kebijakan yang berkaitan dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU).
Studi ini menggunakan kerangka pikir bahwa TN perlu mengoptimalkan fungsi ekologis, ekonomi dan sosial dengan bertransformasi menjadi TN berstatus BLU. BLU merupakan instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi, dan produktivitas. BLU memiliki fleksibilitas pengelolaan keuangan dalam bentuk mengelola penerimaannya secara langsung untuk operasional BLU tersebut. Selain itu BLU memiliki fleksibilitas dalam menentukan tarif sesuai dengan layanan yang diberikan. Good practice IUCN (2018) menjelaskan instrumen tarif sebagai salah satu pengendali mass tourism.
TN berstatus Badan Layanan Umum merupakan alternatif pilihan yang dapat diambil untuk mengembangkan sustainable tourism dan mencegah mass tourism. Selain itu, TN berstatus BLU dipandang akan memberikan ruang bagi pengelola untuk meningkatkan inovasi dan kreativitas pengelola TN untuk menjaga kelestarian kawasan konservasi dan menjamin keberlanjutan sumber penghidupan masyarakat sekitar TN.
Studi lapangan dilakukan di tiga Taman Nasional, yaitu Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Taman Nasional Gunung Pangrango (TNGGP) dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).