Melalui Perjanjian Paris, Indonesia telah mendeklarasikan komitmennya untuk mengurangi memisi gas rumah kaca di tingkat global. Komitmen ini dituangkan dengan meratifikasi Perjanjian Paris dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Peraturan ini memuat kewajiban Pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang ditetapkan secara nasional atau Nationally Determined Contributions (NDCs). Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen (semula 29 persen) dengan upaya sendiri dan sampai 43,20 persen (semula 41 persen) dengan kerja sama internasional pada 20301.
Sektor yang terlibat dalam pencapaian target NDC yaitu kehutanan (17,2 – 24,1 persen), energi (11 – 15,5 persen), limbah (0,38 – 1,4 persen), pertanian (0,32 – 0,13 persen), dan proses industri (0,10 - 0,11 persen). Kehutanan menjadi sektor yang memiliki kontribusi terbesar dalam pemenuhan target NDC Indonesia. Pemerintah kemudian menyusun skenario untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan dengan menargetkan rehabilitasi lahan tidak produktif (lahan kritis dan sangat kritis) seluas 5,3 juta ha pada 2030. Pemerintah juga mendorong sinergi perhutanan sosial dan kebijakan multi izin untuk konsesi hutan dalam bentuk agroforestri untuk mempercepat pencapaian rehabilitasi hutan dan lahan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, rehabilitasi hutan dan lahan mendukung dua prioritas nasional pemerintahan Joko Widodo. Prioritas pertama yaitu penguatan ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas, dan prioritas keenam membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan iklim, dan perubahan iklim. Secara khusus, rehabilitasi hutan dan lahan merupakan program prioritas untuk meningkatkan kuantitas atau ketersediaan air serta pemulihan lahan berkelanjutan dalam pembangunan rendah karbon. Hal ini mengingat Indonesia memiliki lahan kritis seluas 14 juta ha (2018). Pemerintah menetapkan target rehabilitasi hutan dan lahan seluas 420 ribu ha setiap tahunnya atau 2,1 juta ha pada 2020-2024.
Pada periode 2015-2019, rehabilitasi hutan dan lahan juga menjadi program prioritas pemerintah. Dalam implementasinya, pemerintah telah merehabilitasi 1,18 juta ha lahan kritis di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan dan Daerah Aliran Sungai. Namun demikian, jumlah tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan yaitu 5,5 juta ha. Secara persentasenya, jumlahnya baru mencapai 22 persen. Padahal, anggaran rehabilitasi hutan dan lahan yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2019, anggaran untuk Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – institusi di mana program rehabilitasi hutan dan lahan berada – berjumlah Rp3,2 triliun atau meningkat kira-kira tiga kali lipat dari tahun sebelumnya.
Di sisi lain, pemerintah daerah yang menerima Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH DR) juga belum mengoptimalkan anggarannya. Pemerintah daerah sebenarnya bisa melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 230/PMK.07/2017 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Dana Reboisasi. Berdasarkan regulasi tersebut, pemerintah daerah dapat melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan sesuai kewenangannya, termasuk kegiatan pengendalian perubahan iklim, perhutanan sosial, serta pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Adanya kewenangan ini nampaknya belum sejalan dengan penyerapan anggaran yang dimiliki. Hingga September 2022, masih terdapat sisa Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi di kas daerah sebesar Rp4,2 triliun, meliputi Rp 1,7 triliun di pemerintah provinsi dan Rp 2,5 triliun di pemerintah kabupaten/kota2. Ini sebuah paradoks, dimana Indonesia kehilangan kesempatan untuk merehabilitasi hutan dan lahannya, meskipun dananya tersedia.
Untuk mempercepat pencapaian rehabilitasi hutan dan lahan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan tindakan korektif melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.105/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Peraturan ini membuka ruang bagi kelompok perhutanan sosial untuk mengajukan izin di lokasi rehabilitasi hutan dan lahan. Dapat dikatakan, kebijakan ini merupakan upaya mensinergikan perhutanan sosial dengan rehabilitasi hutan dan lahan. Namun, pada akhir 2021, pemerintah mencabut regulasi ini dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Peraturan ini tidak mengatur kembali insentif rehabilitasi hutan dan lahan bagi kelompok perhutanan sosial.
Dalam konteks mitigasi perubahan iklim, pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan belum terkelola dengan baik3. Terdapat dukungan anggaran yang memadai, baik di pusat maupun di daerah, namun belum dioptimalkan. Pelibatan masyarakat sekitar kawasan hutan dalam rehabilitasi hutan dan lahan juga belum sepenuhnya dilaksanakan, meskipun regulasi yang mengatur sinergi antara rehabilitasi hutan serta perhutanan sosial telah diterbitkan pada 2018.
Sehubungan dengan konteks di atas, guna mengetahui lebih lanjut mengenai kebijakan dan implementasi RHL di tingkat nasional dan daerah, serta berbagai tantangan dan kendala di lapangan, serta manfaatnya bagi masyarakat sekitar hutan baik laki-laki maupun perempuan, kelompok marginal dan rentan, Pusat Telaah dan informasi Regional (PATTIRO) telah melaksanakan penelitian berjudul efektivitas pelaksanaan program RHL serta sinerginya dengan Perhutanan Sosial dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Lokasi penelitian berada di Kalimantan Timur yang merupakan provinsi penerima Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi tertinggi dan memiliki lahan kritis seluas 275 ribu ha (2018).