Penjabaran konsep pembangunan inklusif menurut International Disability and Development Consortium (IDDC) adalah merupakan sebuah proses untuk memastikan bahwa semua kelompok yang terpinggirkan bisa terlibat dalam proses pembangunan. Konsep tersebut mengupayakan pemberian hak bagi kelompok atau kaum yang terpinggirkan di dalam proses pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan inklusif berusaha memberikan akses kepada kaum yang terpinggirkan, termasuk di antaranya penyandang disabilitas, untuk terlibat dalam proses pembangunan dan memiliki akses untuk menikmati hasil-hasil pembangunan dimaksud. Kemunculan paradigma pembangunan inklusif dilatarbelakangi oleh orientasi pembangunan sejak era tahun 80-an yang terlalu bertumpu kepada pembangunan ekonomi dengan output berupa pertumbuhan ekonomi. Model pembangunan demikian menghasilkan suatu kondisi deprivasi sosial. Deprivasi sosial menurut Townsed (1979) adalah suatu kondisi dimana individu, keluarga dan kelompok dalam populasi dapat dikatakan berada dalam kemiskinan ketika mereka kekurangan sumber daya untuk mendapatkan pangan, berpartisipasi dalam kegiatan, dan memiliki kondisi hidup dan fasilitas kurang. Sumber daya mereka berada di bawah yang seharusnya diterima oleh rata-rata individu atau keluarga mereka.3 Dibanding beberapa negara tetangga, pembangunan inklusif di Indonesia masih jauh dari kondisi ideal. Menurut World Economic Forum (WEF) dalam Laporan Pembangunan dan Pertumbuhan Inklusif 2017 (The Inclusive Growth and Development Index 2017), Indonesia berada pada peringkat 22 dari 79 negara berkembang. Peringkat ini berada di bawah Thailand (12), Tiongkok (15), dan Malaysia (16). Menurut WEF, Indonesia memiliki masalah ketimpangan yang serius, yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai indikator inklusi (inclusion) yaitu 3,57 (dari skala 1 terendah dan 7 tertinggi), meliputi ketimpangan dalam pendapatan bersih (net income inequality), ketimpangan kemakmuran (wealth inequality) dan tingkat kemiskinan (poverty rate). Dengan kata lain, pembangunan di Indonesia masih jauh untuk dikatakan sebagai pembangunan yang inklusif. Pembangunan nasional sendiri bertujuan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, yaitu pertumbuhan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang, terdistribusi di berbagai wilayah, dan dapat mengurangi ketidaksetaraan pendapatan.
Dalam rangka mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas ini, salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah memperbaiki regulasi melalui penerbitan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas) yang menggantikan UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma kebutuhan penyandang disabilitas. Meskipun undang-undang sudah diterbitkan, belum berarti penyandang disabilitas telah terpenuhi hak-hak dasarnya, mengingat implementasi UU Penyandang Disabilitas itu membutuhkan upaya dan dukungan dari berbagai pihak. Terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas terutama pada pelayanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan memperoleh dokumen kependudukan merupakan salah satu indikator keadilan negara terhadap warga negaranya. Hak dasar ini mestinya diterima secara adil dan merata untuk semua golongan masyarakat dengan berbagai kondisi dan latar belakang baik ekonomi, wilayah, fisik, maupun mental.
Buku ini berusaha memotret upaya-upaya inovasi dan praktik baik terkait pelayanan publik yang ramah disabilitas, sekaligus menganalisis berbagai praktik baik tersebut dan kemungkinan untuk direplikasi dan dikembangkan lebih lanjut (scale up). Berbagai inovasi dan praktik baik yang dipaparkan di dalamnya merupakan hasil dari pelaksanaan Program Peduli Fase 1 (2015-2016). Inovasi dan praktik baik pelayanan publik yang dikupas dalam buku ini relevan dengan pembangunan inklusif dan berkelanjutan, karena di dalamnya memaparkan permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas; upaya-upaya inovasi yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, meliputi proses inovasi yang melibatkan penyandang disabilitas sendiri dan para pemangku kepentingan; hasil dari proses inovasi dimaksud, termasuk dampaknya bagi penyandang disabilitas; serta peluang atau kemungkinan inovasi tersebut untuk direplikasi atau ditingkatkan (scale-up) ke tingkat yang lebih luas. Penyusunan Kajian Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik bagi Disabilitas ini merupakan bagian dari pengelolaan pengetahuan (knowledge management) yang diharapkan memberikan manfaat yang lebih banyak bagi penyandang disabilitas di tanah air. Hasil kajian ini diharapkan menjadi bahan advokasi di tingkat nasional dalam upaya perbaikan kebijakan terkait pelayanan publik yang ramah disabilitas, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dan signifikan bagi penyandang disabilitas di seluruh tanah air.
Untuk melanjutkan membaca silakan unduh buku ini. Kami mohon maaf buku ini masih dalam versi Bahasa Indonesia.