Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) mengamanatkan RHL bisa dilakukan melalui metode penyedia (kontraktual) atau metode swakelola. Penelitian PATTIRO (2023) menemukan pelaksanaan RHL dengan cara swakelola lebih efektif dibanding secara kontraktual. Efektivitas tersebut dilihat dari tiga aspek: lingkungan, ekonomi, dan sosial. Penyebab swakelola lebih efektif adalah karena adanya pelibatan masyarakat bahkan sampai dalam menentukan bibit, hak Kelola, dan manfaat yang didapat masyarakat. Manfaat ekonomi juga terbukti menjadi pemicu kesadaran untuk memelihara dan menjaga hutan, termasuk konsekuensi pembiayaannya. Dalam metode swakelola perempuan juga ikut terlibat dalam kegiatan RHL.
PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) menemukan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dengan metode swakelola lebih berdampak secara ekonomi serta lebih menjamin keberkelanjutannya dibanding rehabilitasi dengan metode kontraktual. Metode swakelola dan kontraktual adalah dua cara pelaksanaan RHL yang diatur melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Keunggulan metode swakelola dibanding metode kontraktual dalam rehabilitasi hutan dan lahan tersebut ditemukan PATTIRO dalam penelitian di Kalimantan Timur, yakni di Desa Tebangan Lembak, Kecamatan Bengalon; HKm Batu Numoq di desa Batu Lepoq Kecamatan Karangan Kabupaten Kutai Timur; Sungai Kelay di Kabupateten Berau, dan Hkm Sungai Wain di Balik Papan, pada April 2022 sampai Juni 2023. Empat lokasi RHL tersebut, dua di antaranya dilaksanakan secara swakelola, sedang dua sisanya secara kontraktual. Dalam penelitian ini, PATTIRO memotret tiga hal: pertama, capaian program rehabilitasi hutan dan lahan dalam RPJMN 2020-2024; kedua, efektifitas pelaksanaan ehabilitasi hutan dan lahan, dan; ketiga, dampak rehabilitasi hutan dan lahan bagi masyarakat sekitar hutan.
Analisis efektivitas rehabilitasi hutan dan lahan diukur menggunakan metode skoring, berdasarkan aspek manfaat lingkungan (Environmental Benefit), ekonomi (Economic Benefit) dan sosial (Social Benefit). Penilaian terhadap indikator di masing-masing aspek menggunakan empat skala: A, B, C, D. Skor A menunjukkan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan di lokasi penelitian sangat efektif, B diartikan efektif, C berarti kurang efektif, dan D adalah tidak efektif. Penilaian ini berdasarkan data sekunder dan data primer dan menggunakan expert judgement1.