oleh: Ahmad Rofik (Program Development Unit)
Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia
Implementasi UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sudah berlangsung empat tahun. Pencapaian rata-rata kepatuhan dasar pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) baru mencapai 48,27%.[1] Rendahnya pencapaian ini bukan hanya terjadi pada pemerintah daerah, khususnya kabupaten yang baru mencapai 170 dari 399 kabupaten (42,61%), namun juga pada lembaga negara setingkat Kementerian/LSN/LPP yang baru tercapai 41 dari 129 lembaga (31,78%). Padahal terbentuknya PPID pada badan publik ini baru tahap awal dari upaya mewujudkan transparansi penyelenggaraan negara.
Pengalaman PATTIRO dalam mengelola program Community Access to Information (CATI) menunjukkan bahwa terdapat tiga jenis manfaat dari pelaksanaan Undang-Undang KIP bagi masyarakat yaitu: (a) kemudahan mengakses informasi publik[2], (b) masyarakat memperoleh manfaat perbaikan pelayanan publik[3], (c) mencegah terjadinya praktek penyimpangan dan korupsi pada penyelenggaraan pelayanan publik.[4]
Perubahan Pada Tingkat Masyarakat
Pada penguatan sistem transparansi, PATTIRO juga memfokuskan agar masyarakat mampu mendapatkan manfaat dari akses informasi. Penguatan kelompok masyarakat melalui pengorganisasian masyarakat yang dikenal dengan community center atau CC dipilih sebagai strategi untuk memberikan tekanan kepada badan publik (penyelenggara urusan negara) agar transparan terhadap informasi yang dikuasai.
Tahap peningkatan kemampuan CC meliputi beberapa level yaitu (a) CC mampu mengidentifikasi permasalahan pelayanan di sekitar untuk dikonversi menjadi jenis informasi yang dibutuhkan; (b) CC mampu mengajukan permintaan informasi; (c) CC mendapatkan informasi yang diminta dan didiskusikan menjadi materi untuk advokasi (dan tindak lanjut lainnya); (d) CC mengajukan komplain/usulan perbaikan pelayanan publik pada unit layanan, sekaligus menyampaikan informasi komplain kepada badan publik atau mengkonversi menjadi manfaat langsung; (e) CC berinisiatif membangun dialog reguler dengan penyelenggara pelayanan. Secara sederhana milestone/ tahapannya seperti dalam skema berikut.
Perubahan Pada Tingkat Penyedia Layanan
Pembelajaran lain berkaitan dengan efektifitas fungsi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), dipengaruhi oleh sejumlah faktor, meliputi: (a) komitmen pimpinan daerah, (b) kapasitas PPID dalam memahami peraturan perundangan terkait KIP, (c) keterampilan PPID dalam mengelola dan melayani permohonan informasi publik, (d) dukungan sarana pendukung untuk pengelolaan dan pelayanan informasi publik.
Pada tataran keberfungsian PPID, program CATI melakukan pendampingan langsung kepada PPID dalam proses pengelolaan dan pelayanan informasi. Pendampingan dilakukan secara intensif dan mandiri oleh staf program CATI PATTIRO di tiap wilayahnya. Dalam melakukan pendampingan ini Level keberfungsian PPID secara sederhana dikategorisasikan menurut empat tingkatan yaitu: (0) PPID Utama belum terbentuk; (1) PPID Utama terbentuk namun belum menyusun regulasi; (2) PPID terbentuk dan sudah menyusun regulasi tentang sistem informasi dan dokumentasi; (3) PPID memberikan pelayanan informasi publik; (4) PPID mampu mengelola informasi publik secara baik, tabel berikut.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dalam pengelolaan negara yang berkorelasi terhadap hubungan antara negara dan masyarakat, informasi juga diposisikan sebagai barang publik, terutama pada informasi yang terkait dengan pelayanan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pendekatan yang dikenal dengan rezim ekonomi ini meyakini bahwa penyediaan akses terhadap informasi merupakan prasyarat untuk mencapai alokasi sumber daya publik yang lebih efisien dan mendekati kebutuhan masyarakat. Penyediaan sistem dan infrastruktur yang dikenal dengan Open Data telah menempatkan akses terhadap data tanpa harus melalui proses permintaan terlebih dahulu. Data yang diperoleh dalam versi masinal dapat diolah kembali oleh pengguna sehingga menginspirasi komunitas lokal dapat mengembangkan inisiatif mereka untuk meperbaiki kualitas pelayanan publik melalui skema-skema kolaboratif.
ICT Untuk Transparansi
Pembelajaran dengan pemerintah daerah dalam mengelola PPID juga telah menginspirasi PATTIRO untuk mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Publik (SIP) PPID yang sudah diterapkan di Provinsi NTB, Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Malang, Sumba Barat Daya, Ngada, Timor Tengah Utara dan juga di tingkat nasional pada Kementerian Dalam Negeri. Melalui aplikasi ini, permohonan informasi dapat dilakukan secara online sehingga menghemat waktu dan biaya. Publik dapat mengakses secara langsung informasi yang sudah dinyatakan terbuka dalam Daftar Informasi Publik (DIP). Pemerintah Daerah juga merasakan manfaat pengelolaan informasi dan pelayanan informasi publik yang lebih mudah, hemat dan efisien. Pengelolaan dokumen diintegrasikan dengan pelayanan informasi baik secara offline maupun online, update Daftar Informasi Publik (DIP) secara otomatis, konektifitas data antar Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD: dinas/kantor/badan), pembuatan laporan rekap secara otomotis, serta keterhubungan dengan sistem pelaporan pelayanan informasi dengan Kementerian Dalam Negeri.
Arah percepatan pelaksanaan UU KIP pada pemerintah daerah juga didukung oleh pemerintah pusat yang memiliki keterkaitan langsung antara lain Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Komisi Informasi Pusat, dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Pada level tertentu, UKP4 memiliki tingkat pengaruh yang lebih intensif kepada kementerian dan lembaga pemerintah pusat. Sementara Kementerian Dalam Negeri cukup intensif mendorong pelaksanaan peraturan pada pemerintah daerah.
Keterbukaan Informasi dan Open Goverment Partnership
Keterlibatan masyarakat sipil pada level nasional telah mengungkit praktik transparansi di Indonesia dalam inisiatif global OGP. Pada tahun 2012, Survey Open Budget Index (OBI) menempatkan Indonesia sebagai peringkat kedua di Asia setelah Korea Selatan dalam transparansi dokumen keuangan negara. Walapun berhasil pencapaian tingkat tranparansi yang tinggi namun tidak secara langsung berdampak pada perbaikan indeks anti korupsi. Skema anti korupsi sejatinya dibangun melalui kerangka logis partisipasi publik secara kolaboratif oleh warga dan sektor privat dalam penyelenggaraan urusan negara. Partisipasi kolaboratif ini tidak saja berhenti pada diakomodasinya aspirasi dalam pembuatan keputusan, namun sampai pelaksanaan dan monitoring pembangunan melalui keterlibatan secara kolaboratif atas sumberdaya yang dimiliki antar pihak tersebut.
Harus diakui bahwa tatanan pemerintahan terbuka yang diharapkan dari inisiatif global OGP ini baru pada tahap awal. Resistensi dari kalangan masyarakat sipil terutama terkait kesetaraan atas keterlibatan (partisipasi) mengemuka pada masa awal. Bahkan dalam agenda-agenda OGP Indonesia masih belum seimbang posisi pemerintahan dan masyarakat sipil. Beberapa kalangan bahkan memandang OGP lebih sebagai open data saja, padahal hal itu hanya salah satu infrastruktur bagi terciptanya pemerintahan yang terbuka. Dalam perkembangannya resistensi tersebut mulai berganti dengan rasa kepemilikan bersama atas agenda OGP Indonesia.
Indonesia juga belum menemukan pola OGP ini pada tingkat sub nasional (provinsi/kabupaten/kota). OGP semestinya menjadi pengungkit bagi terciptanya pemerintahan terbuka yang berdampak pada upaya perbaikan pelayanan publik untuk peningkatan kesejahteraan. Upaya-upaya inovasi harus ditumbuhkan baik pada pemerintahan pusat maupun pemerintah daerah. Inovasi-inovasi tersebut juga penting untuk direplikasi dan di-scalling up baik pada tingkat nasional maupun internasional.
[1] Sumber: Dit. Komunikasi Publik – Ditjen IKP, 23 September 2014.
[2] Penerapan aplikasi Sistem Informasi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Provinsi NTB (http://ntbprov.sip-ppid.net/index.php/document), Kementerian Dalam Negeri (http://ppid.kemendagri.go.id/document)
[3] Pengalaman di Puskesmas Kabupaten Manokwari. Dinas pendidikan Lombok Barat juga mengakomodasi usulan CC tentang penanganan siswa miskin yang putus sekolah, bahwa siswa miskin putus sekolah dapat melanjutkan pendidikannya karena pada tahun ajaran baru 2014 mendapatkan tambahan uang saku Rp. 1.000.000,- per siswa per tahun.
[4] CC Kabupaten Flotim berhasil melakukan advokasi agar dana Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang potong di SD Inpres Lewoneda Desa Kemutu Kecamatan Ile Mandiri dikembalikan pada siswa bersangkutan. Sebelumnya, dana BSM dipotong oleh sekolah dan akan digunakanakan biaya administrasi, pemerataan siswa lainnya yang tidak mendapat BSM, biaya komite sekolah dan seragam. Disamping pembatalan pemotongan BSM juga ada komitmen dari pihak sekolah mengenai pengelolaan dana BSM yang lebih transparan. Perubahan perilaku tersebut terutama dihasilkan dari kesadaran CC untuk berinteraksi dengan unit-unit layanan