Hingga tahun 2020, kawasan hutan yang telah dikelola melalui skema perhutanan sosial (PS) telah mencapai 4,2 juta hektar. Pemerintah menargetkan untuk meningkatkan luasan kawasan perhutanan sosial menjadi 8 juta hektar pada tahun 2024 (RPJMN 2020-2024). Target ini ditetapkan untuk mengentaskan kemiskinan, terutama bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Data Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan rata-rata pendapatan petani hutan kemasyarakatan mencapai Rp 28.340.724 per tahun, atau Rp 8.640.000 per kapita per tahun (Dokumen Renstra Ditjen PSKL 2020-2024). Nilai ini di atas ambang batas pendapatan garis kemiskinan yang besarnya Rp 5.455.824 per kapita per tahun, berdasarkan ukuran Badan Pusat Statistik, Maret 2020. Survei Katadata Insight Center (KIC) terhadap 103 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) menunjukkan 98,4% responden menyatakan meningkat pendapatannya. Salah satunya adalah Kelompok Tani Hutan Margomulyo di Desa Burno, Lumajang, Jawa Timur, yang meningkat pendapatannya enam kali lipat (Rp 7,8 juta/hektar menjadi Rp 44,6 juta/hektar) dibandingkan sebelum mengikuti program perhutanan sosial (KIC, 2020).
Namun demikian, keterlibatan perempuan dalam program perhutanan sosial masih rendah. Dari 103 KUPS yang disurvei oleh KIC, hanya ada sekitar 5 kelompok (5%) yang anggota dan pengurusnya didominasi oleh perempuan, sedangkan yang anggota dan pengurusnya setara antara laki-laki dan perempuan hanya tidak lebih dari 1 kelompok (1%). Selebihnya, yakni 94% merupakan kelompok yang anggota dan pengurusnya didominasi oleh laki-laki (KIC 2020). Data lain menunjukkan, hingga tahun 2019 tercatat hanya ada dua kelompok perempuan yang telah mengantongi izin perhutanan sosial, yaitu Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan di Rejang Lebong, Bengkulu, dan Kelompok Perempuan Damaran Baru di Bener Meriah (TEMPO 2019).
Untuk membaca selengkapnya laporan ini silakan unduh dibawah ini: