PATTIRO: Transparansi PEMDA Masih Rendah, Tantangan Bagi Pemerintah Baru

Evaluasi Implementasi Instruksi Mendagri No. 188.52/1797/SJ tentang Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah

JAKARTA, 26 September 2014 – Untuk mengendalikan dan mengembangkan praktek-praktek etis dalam pemerintahan, menurut Steinberg & Austern (1999), sebuah negara harus memiliki beberapa hal berikut: (i). Pemerintahan terbuka; (ii). Laporan kekayaan pejabat negara; (iii). Undang-Undang dan peraturan tentang konflik kepentingan; (iv). Perlindungan saksi dan korban (whistleblowers and justice collaborators protection); (v). Kewenangan kuat Inspektorat Jenderal; (vi). Pembatasan paska ikatan dinas dan perilaku tidak etis; (vi). Standar hukum perilaku etis pejabat-hasil- pemilihan/pejabat politik; dan (vii). Kode etik pejabat publik.

Pemerintahan Terbuka menjadi elemen kunci dan utama dalam penyelenggaraan etika, hukum, dan politik di lingkungan pemerintahan. Salah satu wujud implementasi dari elemen Pemerintahan Terbuka itu, oleh Pemerintahan SBY, adalah penerbitan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 188.52/1797/SJ/2012 tentang Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah. Instruksi ini memberi perintah/kewajiban bagi Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mempublikasikan secara proaktif 12 (dua belas) dokumen terkait anggaran daerahnya, melalui website resmi.

PATTIRO memandang penting, fundamental, dan mendesak untuk melakukan kajian atas implementasi Instruksi Mendagri tersebut. Disamping untuk menguatkan pelembagaan keterbukaan/transparansi yang sedang berjalan –sesuai Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, juga sebagai upaya perlawanan sosial atas ancaman Arus Balik Anti-Demokrasi, yang pelan tapi pasti menggerogoti dan melumpuhkan basis demokrasi kita. Seperti yang telah mereka lakukan melalui upaya penetapan Pilkada-oleh-DPRD, mekanisme tidak langsung, dalam RUU Pilkada.

Pengkajian atas implementasi Instruksi Mendagri tersebut, disisi lain, merupakan upaya koreksi dan refleksi atas prakarsa Pemerintahan SBY dalam mengembangkan tata kelola Pemerintahan Terbuka. Apalagi pada hakikatnya, upaya transparansi/keterbukaan dari Instruksi Mendagri itu berujung pada pencapaian Pemerintahan yang Bersih dan bebas KKN, sesuai mandat Instruksi Presiden No. 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012.

Implementasi keterbukaan membutuhkan, salah satunya, adanya pejabat fungsional yang khusus ditempatkan untuk mengorganisir pengelolaan dan pelayanan informasi –pejabat itu disebut Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (atau PPID).

Menurut catatan PATTIRO, pencapaian rata-rata kepatuhan penunjukan PPID di lingkungan pemerintahan, di semua tingkatan, baru mencapai 46,83%. Rendahnya pencapaian ini terjadi ditingkat kabupaten -baru terbentuk di 166 dari 399 kabupaten (41,60%), dan ditingkat lembaga kementerian dan lembaga pemerintah non struktural –berdiri di 40 dari 129 K/L (31,01%).

Dari kajian tersebut, PATTIRO memperoleh beberapa temuan, yaitu:

  1. 28% dari 434 pemda mematuhi perintah Instruksi Mendagri. 72% pemda tergolong ‘pembangkang’ atas Instruksi Mendagri. Mayoritas pemda tidak mengikuti, tidak menaati, dan ‘melawan’ kebijakan transparansi Mendagri.

Dari 72% pemda tersebut, terbagi dalam dua wujud: (i). Pemda yang tidak mematuhi kebijakan Mendagri sama sekali; dan (ii). Pemda yang mematuhi kebijakan Mendagri hanya pada bagian penampilan menu.

  1. Dari 123 Pemda yang mematuhi perintah Mendagri, hanya 39% yang menolak melakukan pemutakhiran data. Dengan kata lain, 61% pemda menjalankan perintah untuk melakukan pemutakhiran data.
  2. 25,6% permintaan informasi warga mengarah pada jenis-jenis Informasi yang non-layanan publik. Selebihnya, 74,4% permintaan informasi warga diajukan untuk memperoleh informasi layanan publik.

Dari temuan-temuan tersebut, PATTIRO mengharapkan, mendorong Pemerintahan baru, Pemerintahan Jokowi-JK, agar:

  1. Menerbitkan Instruksi Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Keterbukaan Informasi dilingkungan Pemerintahan Pusat dan, terutama Pemerintahan Daerah.
  2. Klausula utama dari Instruksi Presiden tersebut adalah penerapan kebijakan penyediaan Informasi Publik secara proaktif (Pro-active Disclosure Policy) bagi setiap instansi pemerintahan.
  3. Klausula kedua yang terpenting adalah penerapan sanksi administratif yang tegas bagi pimpinan instansi pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah, yang melakukan pengabaian atau penolakan atas perintah dari Instruksi Presiden tersebut

Catatan: Rilis media ini juga diseminarkan pada hari Rabu, 24 September 2014 di Hotel Alila, Pecenongan, Jakarta Pusat dengan judul “Seminar Evaluasi Implementasi Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 188.52/1797/SJ Tentang Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah” yang dihadiri oleh Bapak Andi Kriarmoni dari Dirjen Keuangan Daerah Kementrian Dalam Negeri, Bapak Abdulhamid Dipopramono selaku Ketua Komisi Informasi Pusat, Bapak Lalu Safii selaku Asisten Administrasi Umum dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi NTB, dan Bapak Ahmad Rofik dari PATTIRO sebagai perwakilan dari Freedom of Information Network Indonesia (FOINI), serta Bapak Alamsyah Saragih selaku moderator seminar hari itu.

Berita

Berita Lainnya

Newsletter

Scroll to Top
Skip to content