Indonesia merupakan “Megabiodiversity Country”, karena memiliki keanekaragaman hayati dan kekayaan alam seperti panorama alam yang indah dan unik. Taman Nasional (TN) menjadi benteng terakhir perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia tersebut.
Luas Taman Nasional (TN) mencapai 16,2 juta hektar atau 59,81% dari total kawasan konservasi yang mencapai 27,14 juta hektar. Taman Nasional memiliki karakteristik pemanfaatan ganda, yaitu selain menjalankan fungsi ekologi, juga fungsi ekonimi dan sosial budaya bagi kehidupan komunitas lokal dan komunitas adat.
Dalam rancangan teknokratik RPJMN 2020-2024, pada sektor lingkungan hidup, Pemerintah menargetkan meningkatnya Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) sebesar 75,0-78,0 pada tahun 2024. Selain itu, di sektor pariwisata, sasaran strategis RPJMN 2020-2024 adalah meningkatkan nilai tambah pariwisata yang diukur dengan meningkatnya jumlah devisa yang dihasilkan dari USD 19,2 miliar (tahun 2018) menjadi USD 28 miliar USD 28 miliar (tahun 2024). TN sebagai kawasan konservasi perlu dioptimalkan perannya untuk berkontribusi dalam pencapaian target pembangunan RPJMN 2020-2024.
Peran TN sebagai kawasan konservasi dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan yang ada, antara lain hubungan yang belum harmonis dengan masyarakat di sekitar kawasan, kurangnya jumlah SDM, keterbatasan anggaran, rusaknya habitat flora dan fauna karena kerusakan dan degradasi hutan karena illegal logging dan praktik penggunaan lahan yang tidak tepat, pertambahan jumlah penduduk, pembalakan hutan, serta kebakaran hutan. Terkait permasalahan keterbatasan dukungan anggaran, dalam IBSAP 2016, Jefferson (2014) menjelaskan bahwa kebutuhan pendanaan konservasi diperkirakan sebesar USD 18,6/ha per tahun pada periode 2010 -2020, namun rata-rata anggaran yang diperoleh USD 5,1/ha pertahun (acuan 1999)1, sehingga terdapat kesenjangan anggaran sebesar USD 13,5 /ha pertahun atau setara dengan Rp 189 ribu per hektar.
Pada sisi lain,TN memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan, baik dari kekayaan keanekaragaman hayati maupun dari keindahan alam sebagai obyek wisata. Pemanfaatan potensiTN ini telah menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Salah satu peluang terobosan pengelolaan TN adalah melalui bentuk Badan Layanan Umum (BLU). BLU merupakan instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi, dan produktivitas. BLU menjadi alternatif untuk meningkatkan produktivitas, inovasi dan kreatifitas dalam pengelolaan TN, karena memiliki fleksibilitas pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, serta penerapan praktek bisnis yang sehat3. Fleksibilitas BLU tersebut antara lain dalam bentuk pengelolaan keuangan (dana, utang, piutang, serta perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan keuangan), pengelolaan barang/jasa, dan pengelolaan investasi4. Dengan fleksibilitas tersebut,artinyaTN dapat mengelola penerimaannya secara langsung untuk operasional TN, menentukan tarif TN BLU sesuai dengan potensinya, mengembangkan potensi dan aset yang dimilikiTN dalam rangka meningkatkan kinerjanya serta dapat meningkatkan pendapatan melalui kerja sama dengan pihak ketiga maupun hibah.
Dengan melihat pemenuhan persyaratan menjadi BLU berdasarkan PMK No 180/2016, ketiga TN yang menjadi obyek studi telah memenuhi persyaratan awal substantif, teknis, dan administratif. TN yang lain pun dapat diusulkan sepanjang memenuhi ketiga persyaratan awal untuk menjadi BLU. Dengan melihat beragamnya kondisi pengelolaan TN, maka disusun dua kriteria, yaitu nilai METT dan nilai PNPB yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi TN yang prioritas diusulkan untuk bertransformasi menjadi BLU Taman Nasional. Berdasarkan dua kriteria ini, ada lima TN yang dapat diusulkan bertransformasi menjadi BLU Taman Nasional, yaitu TN Komodo (Provinsi NTT), TN BromoTengger Semeru (Provinsi Jawa Timur), TN Bali Barat (Provinsi Bali), TN Gunung Rinjani (Provinsi NTB) dan TN Tanjung Puting (Provinsi Kalimantan Tengah).
Langkah-langkah untuk mewujudkan BLU TN untuk mencapai tujuan sebagai wilayah konservasi berkelanjutan, diawali dengan menyusun desain pengelolaan TN berstatus BLU dengan menggunakan pendekatan tata kelola kolaboratif, yaitu dengan pelibatan seluruh pemangku kepentingan. Keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan konservasi, juga perlu memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan, baik di ranah pengelola TN maupun di ranah masyarakat melalui pemberian akses, partisipasi, dan kontrol yang sama, sehingga manfaat keberadaan TN dapat dirasakan oleh semua pihak.
Mengingat pentingnya TN untuk berstatus BLU ini, maka perlu upaya untuk mengakselerasi proses perubahan TN dari Satker PNBP menjadi Satker BLU. Untuk itu, KLHK sebagai kementerian yang membina TN perlu memiliki peta jalan (roadmap) untuk memulai proses perubahan status dimaksud. Setelah memperoleh status BLU, TN juga masih memerlukan kebijakan yang mendukung operasionalisasinya. Kebijakan dimaksud meliputi: (i) Kebijakan Pengelolaan Keuangan BLU; (ii) Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran BLU; (iii) Kebijakan SDM BLU; dan (iv) Kebijakan Remunerasi BLU. Untuk mewujudkan BLU Taman Nasional, sejumlah rekomendasi disusun yang ditujukan, baik untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Keuangan dan Bappenas.